Langsung ke konten utama

PENGHITUNGAN USIA MANUSIA MENURUT BUDAYA TIONGHOA





Di Indonesia, WNI yang berdarah Tionghoa tidaklah sedikit. Kebudayaan-kebudayaan Tionghoa yang ada bukanlah sesuatu yang asing yang harus dijauhi. Misalnya saja bila Imlek tiba, bukan hanya WNI berdarah Tionghoa saja yang merasakan kemeriahannya, melainkan juga WNI non-Tionghoa. Biasanya mal-mal menjelma merah. Acara-acara hiburan khas budaya Tionghoa pun bermunculan.

Berbicara mengenai budaya Tionghoa lainnya, salah satu keunikannya, yakni mengenai penghitungan usia manusia. Menurut budaya Tionghoa, seorang bayi yang baru lahir langsung berusia satu tahun. Penghitungan usia memang dilakukan sejak bayi berada dalam kandungan sang ibu meskipun hamil hanya dalam kurun waktu sembilan bulan, tetapi bayi yang baru lahir sudah dihitung berusia satu tahun. Sementara menurut penghitungan yang kita gunakan (penghitungan barat), bayi yang baru lahir masih berusia 0 bulan. Setelah berjalan dua belas bulan, barulah bayi tersebut berusia satu tahun.

Bila bayi Tionghoa akan merayakan ulang tahunnya yang pertama, maka perayaan usianya dianggap dua tahun. Bila bayi Tionghoa akan merayakan ulang tahunnya yang kedua, maka perayaan usianya dianggap tiga tahun. Begitu seterusnya. Sementara menurut perhitungan barat, perayaan pertama ulang tahun usianya tetap dihitung satu tahun. Perayaan kedua ulang tahun usianya tetap dihitung dua tahun. Begitu seterusnya. 

Mengapa bisa demikian? Banyak interpretasi masyarakat yang berbeda-beda. Beberapa orang ada yang kebingungan. Beberapa lagi pasrah dengan mengatakan, “Di dalam China memang sudah ditetapkan demikian.” Sahabat Puan ada yang tahu alasannya?

Analogi penghitungan usia berdasarkan budaya Tionghoa dapat digambarkan melalui deskripsi ini. Anak kecil yang baru sehari memasuki kelas satu sekolah dasar sudah dihitung dari awal bahwa anak tersebut dinyatakan kelas satu. Meskipun kenyataannya, anak tersebut belum menjalani kelas satu secara tuntas selama satu tahun. Bila anak tersebut naik ke kelas dua, artinya anak tersebut sudah menjalani sekolah selama satu tahun. Ketika anak baru menjalani kelas dua selama beberapa hari, anak tersebut belum genap menjalani sekolah selama dua tahun, tetapi sudah dinyatakan kelas dua. Begitu seterusnya.

Jadi, sederhananya, penghitungan usia Tionghoa, yakni menghitung usia untuk tahun yang baru akan dimasuki. Sementara penghitungan barat, usia dihitung berdasarkan waktu yang telah terjadi (waktu lampau).

Nah, Sahabat Puan, kira-kira usia Anda jadi berapa bila dihitung berdasarkan penghitungan budaya Tionghoa?

Jerambah Bolong
Rini Febriani Hauri
 
Catatan: Pernah dimuat di puan.co tanggal 01 September 2017. Sila Klik http://puan.co/2017/09/penghitungan-usia-manusia-menurut-budaya-tionghoa/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia

Oleh: Tri Wahyuni Zuhri Judul  : Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia Penulis : Kurniawan Junaedhie Penerbit : Kosa Kata Kita Jakarta Jumlah hlm. : 338 Tahun : 2012 Buku yang di tulis oleh Kurniawan Junaedhie dan di terbitkan oleh Kosa Kata Kita Jakarta, memang cukup banyak di cari. Terutama karena buku ini memuat sekitar 800-an lebih profil perempuan pengarang dan penulis Indonesia.  Sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran 1897, hingga Sri Izzati, pengarang kelahiran 1995. Dalam kata pengantar di buku ini, Kurniawan Junaeid menjelaskan alasannya membuat buku Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia.  Selama ini masih sedikit sekali buku  literatur yang menjelaskan sepak terjang perempuan pengarang dan penulis di Indonesia.  Sebut saja buku-buku tersebut antara lain Leksikon Kesustraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) di susun oleh Pemusuk Eneste, Leksikon Susastra Indonesia (Balai P...

Puisi-Puisi John Keats Terjemahan Rini Febriani Hauri

Awalnya, saya hanya iseng belajar menerjemahkan tiga puisi ini - yang menurut saya masih jauh dari sempurna - akhirnya saya memberanikan diri mengirim ke media online kibul.in. Alhamdulillah responsnya positif dan terjemahan puisi ini mendapat tempat. Saya tahu,  pengetahuan bahasa Inggris saya yang pas-pasan, mungkin membuat beberapa pembaca kecewa membaca terjemahan saya. Namun, izinkanlah saya mempostingnya di sini. siapa tahu teman-teman memang ingin membaca dan menyelami puisi-puisi John Keats.  Setelah ini, banyak puisi-puisi yang telah coba saya terjemahkan. tentu saja sebagai latihan. Karena sadar diri akan keterbatasan, beberapanya saya kirimkan ke media on line yang menerima puisi terjemahan dan beberapa lagi saya simpan untuk saya nikmati sendiri. Selamat membaca John Keats dan keterbatasan bahasa yang saya miliki. When I Have Fears - Poem by John Keats When I have fears that I may cease to be Before my pen ...

Seri Tokoh Jambi: Junaidi T. Noor

Akan kutelusuri sejarah kebudayaan Jambi sampai titik darah penghabisan. Siapa yang tak kenal Junaidi. T. Noor.   Lelaki paruh baya yang lahir di Tanjung Karang, 27 April 1947 ini dikenal sebagai budayawan di provinsi Jambi. Ketertarikannya dalam mendalami dan menggali nilai-nilai sejarah dan kebudayaan Jambi sudah lama mengakar bahkan mendarah daging di tubuhnya meski guratan-guratan di wajahnya sudah mulai tampak. Bermula ketika dirinya tengah memakai seragam putih abu-abu di SMA N 2 Jambi pada tahun 1965. Saat itu beliau hanyalah seorang lelaki biasa yang sangat haus akan pengetahuan mengenai cerita-cerita sejarah dan kebudayaan negri Sepucuk   Jambi Sembilan Lurah.  Nama kecil beliau adalah Tajidin. Oleh neneknya ditukar menjadi Junaidi. Ayahnya bernama Tajuddin Noor , seorang   pensiunan TNI. Jenjang pendidikannya dari Sekolah Dasar hingga D3 Perguruan Tinggi, ia tamatkan di Jambi. S1 jurusan Pembangunan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta...

Rise For Holiday