Langsung ke konten utama

Tepatkah Penggunaan Unsur –Isasi ?



Sumber : Kantor Bahasa Maluku

DALAM berkomunikasi seharihari, kita mungkin sudah pernah mendengar kata modernisasi atau rayonisasi. Sebagian orang mungkin memahami  bahwa kata modernisasi terbentuk dari kata modern + (isasi). Masalahnya adalah, apakah pemahaman itu benar atau unsur (isasi) yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari isatie (Belanda) atau ization (Inggris).

Unsur ini sebenarnya tidak diserap ke dalam bahasa Indonesia. Meskipun demikian, unsur itu ada di dalam pemakaian bahasa Indonesia karena diserap bersamasama dengan bentuk dasarnya secara utuh. Sebagai contoh, modernisatie, modernization  menjadi modernisasi, normalisatie, normalization menjadi normalisasi, legalisatie, legalization menjadi legalisasi (bukan legalisir).

Contoh ini memperlihatkan bahwa dalam bahasa Indonesia, kata modernisasi tidak dibentuk dari kata  modern dan unsur  (isasi), tetapi kata itu diserap secara utuh dari kata modernisatie  atau modernization. Begitu juga halnya dengan kata  normalisasi. Mengingat akhiran asing  isatie  dan ization  tidak diserap dalam bahasa indonesia menjadi (isasi),  sebaiknya akhiran itu pun tidak digunakan dalam pembentukan kata baru bahasa Indonesia.

Namun demikian, para pemakai bahasa tampaknya kurang memperhatikan aturan tersebut. Pada umumnya, pemakai bahasa tetap beranggapan bahwa (isasi) merupakan akhiran yang dapat digunakan dalam bahasa Indonesia. Akibatnya, muncul bentukan baru yang menggunakan kata itu, seperti turinisasi, lelenisasi, lamtoronisasi, hibridanisasi, dan rayonisasi. Melihat bentukan baru tersebut, muncul pertanyaaan, tepatkah bentukan kata tersebut?

Berdasarkan kebijakan bahasa yang kita anut, unsur asing yang ada padanannya di dalam bahasa kita tidak diserap karena hal itu dapat mengganggu upaya pengembangan bahasa Indonesia. Sesuai dengan kebijakan itu, sebenarnya kita dapat menggunakan afiks bahasa Indonesia untuk menghindari pemakaian unsur (isasi). Dalam hal ini, afiks atau imbuhan (pean)  atau  (peran) dapat digunakan sebagai pengganti akhiran asing itu.

Kata  modernisasi, normalisasi, dan legalisasi misalnya dapat  diindonesiakan menjadi pemodernan, penormalan, dan pelegalan. Dengan cara yang serupa, bentuk kata yang setipe dengan turinisasi pun dapat diubah seperti turinisasi menjadi perturian, lamtoronisasi menjadi perlamtoroan, lelenisasi, menjadi perlelean, hibridanisasi menjadi perhibridaan, rayonisasi menjadi perayonan.

Jika penggunaan imbuhan (peran) itu menurut rasa bahasa kita kurang sesuai, kita pun dapat memanfaatkan kosakata bahasa Indonesia yang lain untuk menyatakan pengertian yang sama, misalnya dengan istilah  pembudidayaan.  Istilah ini sudah lazim digunakan, dengan arti `proses atau tindakan membudidayakan'. Misalnya, pembudidayaan udang, berarti `proses atau tindakan membudidayakan udang'.

Sejalan dengan itu, kita pun dapat membentuk istilah pembudidayaan turi, pembudidayaan lamtoro, pembudidayaan lele, pembudidayaan hibrida, sebagai pengganti turinisasi, lamtoronisasi, lelenisasi, dan  hibridanisasi.

Kata rayonisasi dan setipenya yang tidak termasuk tanaman atau hewan, tidak tepat jika diganti dengan  pembudidayaan rayon karena rayon tidak termasuk jenis yang dapat dibudidayakan. Oleh karena itu, unsur  (isasi)  pada rayonisasi  lebih tepat diganti dengan imbuhan (pean)  sehingga bentukannya menjadi perayonan, yang berarti 'hal merayonkan' atau 'membuat rayonrayon'.

Bagi para pembaca, saya mengajak, marilah kita menggunakan kekayaan bahasa kita, untuk menggantikan unsurunsur bahasa asing! Dengan demikian, berarti kita pun  menanamkan kecintaan terhadap bahasa kita sendiri, bahasa Indonesia.*

*********************************************************************************

* Tulisan ini dikutip dari Grup Whatsapp Tim Bahasa Indonesia Ganesha Operation, dikirim oleh anggota grup berinisial ~’ (0896-0544-xxxx) tertanggal 20 Desember 2018.

Yang ternyata penulis aslinya bernama  Lefrand Rurut, Pengkaji di Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara, dan tulisan ini pernah dimuat di Tribun Manado, Selasa, 09 Juli 2013







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pepatah Jepang I

diambil dari catatan Facebook, 17 Agustus 2010         Pepatah dalam bahasa Jepang disebut kotowaza (ことわざ)salah satunya nih, iwanu ga hana いわぬ が 花 artinya, tidak bicara itu bunga, maksudnya  diam adalah emas. "Aite no nai kenka wa dekinu" artinya Orang tak bisa bertengkar tanpa musuh. "Shippai wa seikou no moto" artinya kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda "Hito no uwasa mo shici jyu go nichi"  (人の噂も七十五日) artinya, gosip/rumor hanya bertahan selama 75 hari alias gosip/rumor tidak akan bertahan lama.  "Sarumo ki kara ochiru" 猿も木から落ちる  artinya kera juga bisa jatuh dari pohon.  Sama artinya dengan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga "Baka mo ichi-gei" 馬鹿 も いちげい artinya, orang bodoh pun punya kelebihan/kebaikan "Arashi no ato, sora ni niji ga kakarimashita" artinya Badai pasti berlalu "Onna sannin yoreba kashimashii" artinya: di mana pun ketika ada t

Buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia

Oleh: Tri Wahyuni Zuhri Judul  : Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia Penulis : Kurniawan Junaedhie Penerbit : Kosa Kata Kita Jakarta Jumlah hlm. : 338 Tahun : 2012 Buku yang di tulis oleh Kurniawan Junaedhie dan di terbitkan oleh Kosa Kata Kita Jakarta, memang cukup banyak di cari. Terutama karena buku ini memuat sekitar 800-an lebih profil perempuan pengarang dan penulis Indonesia.  Sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran 1897, hingga Sri Izzati, pengarang kelahiran 1995. Dalam kata pengantar di buku ini, Kurniawan Junaeid menjelaskan alasannya membuat buku Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia.  Selama ini masih sedikit sekali buku  literatur yang menjelaskan sepak terjang perempuan pengarang dan penulis di Indonesia.  Sebut saja buku-buku tersebut antara lain Leksikon Kesustraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) di susun oleh Pemusuk Eneste, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang di su

Antara Penyair Perempuan dan Puisi Esai

Proyek penulisan puisi esai nasional Denny J.A. (DJA) jilid II melibatkan berbagai penulis dari 34 provinsi se-Indonesia. Dalam satu buku puisi esai, terdiri atas lima penulis yang mewakili setiap provinsi, yang akan diterbitkan secara serentak di Indonesia. Masing-masing penulis mendapatkan kontribusi sebesar Rp5 juta. Namun akhir-akhir ini, proyek penulisan tersebut menimbulkan polemik baru dalam sastra Indonesia. Tiba-tiba saja muncul berbagai penolakan puisi esai dari banyak komunitas. Di antara pro dan kontra puisi esai, sebagian penulis puisi esai adalah penyair perempuan. Di lain pihak, ada juga beberapa penyair perempuan yang mengundurkan diri. Mengapa puisi esai menimbulkan berbagai polemik? Bagaimana isu perempuan dalam puisi esai? Simak hasil wawancara puan.co bersama Dellorie Ahada Nakatama, Fatin Hamama R. Syam, Rukmi Wisnu Wardani, dan Waode Nur Iman berikut ini! Dellorie, Penyair yang Mengundurkan Diri dari Puisi Esai Setelah viral nama beberap

Rise For Holiday