Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2018

Induk Bejajo, Ibu di Mata Orang Rimba

Saat kali pertama saya dikabari harus turun ke TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas), saya sungguh senang sebab selain main ke hutan, ada yang ingin saya temui, yakni SAD (Suku Anak Dalam) atau biasa dikenal dengan orang rimba. Di Provinsi Jambi, TNBD tersebar di tiga kabupaten: Batanghari, Tebo, dan Sarolangun. Menurut peta, Sako Napu, lokasi yang saya kunjungi di TNBD masuk dalam wilayah Kabupaten Tebo. Namun, akses ke dalam hutannya lebih dekat dimasuki melalui Kabupaten Merangin. Sekitar empat jam dari Merangin Bangko, dengan kendaraan roda empat yang terpisah dua, kami melewati jalan-jalan berbukit, diiringi semilir Sungai Makekal yang mengalir di sepanjang jalan, dan suara merdu monyet-monyet hutan. Pagi itu, saya, Kak Elvi, dua teman SAD (Mijak Tampung dan Penangguk Sunting) sudah siap menuju tepi hutan adat. Perjalanan hanya bisa diakses melalui perjalanan kaki. Sebab hanya ada jalan setapak yang kiri kanannya adalah hutan belantara. Setelah hampir satu jam

Tradisi Bingguk Suku Anak Dalam

                                                       sumber: dokumen pribadi Sebelum memutuskan berangkat ke Taman Nasional Bukit Duabelas untuk mengunjungi SAD (Suku Anak Dalam) atau orang rimba,aku menelpon Kak Elvi, seorang teman yang akan berpetualang bersamaku. Pertanyaanku sederhana, di mana orang rimba buang air besar? Katanya di dalam tanah. Aku tertawa geli mengira Kak Elvi bercanda, kemudian Kak Elvi menjelaskan bahwa terlebih dahulu mereka akan menggali lubang dan menimbunnya kembali. Aku cuma senyum-senyum saja membayangkan yang akan kualami nanti. Di hutan TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) tidak ada signal, apalagi listrik. Aku merasa benar-benar terputus dari dunia luar. Namun kehilangan signal dan listrik, bukanlah hal yang menjengkelkan. Justru ini sebagai penguji diri betapa dunia modern telah membius manusia untuk takluk terhadapnya. Aku sungguh senang main ke hutan, mengingatkan masa kecilku. Dulu nenekku tinggal di tempat yang sangat jau

Puisi Rini Febriani Hauri dalam Buku Antologi Puisi Wartawan se-Indonesia

Dua Puisi RFH di Buku Puisi Wartawan Indonesia Pesona Ranah Bundo dalam rangka Hari Pers Nasional 2018 Sumatera Barat sumber: L'imagerie Gallery Ladam Kuda Ladam kuda bergelantungan di atas pintu rumah panggung Oh, roh nenek moyang. Jagalah kami dari marabahaya Dan segala tuah ninik mamak tua tengganai Seruan bintang dan debur sungai tabir yang keruh Menjalar ke jembatan gantung Tidurlah dalam buaian kayu-kayu ulin Sebab tuju kelak berbalik ke tuannya Oh, betapa di kampung ini, leluhur Hidup kembali. Oh, Roh Nenek Moyang. Oh, Ladam Ladam Kuda. Jangan pernah hanyut sampai ke muara! Jerambah Bolong, 2017 Lubuk Larangan Barangkali daratan menghendaki bahwa kematian yang dikuburkan adalah perjalanan yang tak selesai maka, aku menjelma sungai dan mengalirkan kesepian bersama mantra penjaga ikan-ikan Pada segala hal yang misterius kusamarkan maut dalam deras arus bayang-bayang kail lumat ingatan seperti Nuh membelah lautan : karam bersama k

Puisi Rini Febriani Hauri Edisi Bahasa Inggris

  source: www.goodnewsfromindonesia.id (Roby Dwi Antono) My Rhyme in Yours   I’ve become a rhyme in each of your poems Just read ! read it again each of your poems You will find me in you As the longing which the same, fused, and along with I’ve become a rhyme in the notes to the poems you wrote When we lose the shape Your poems Transform into the silent blue sky, my lover For each word running, embrace each other letter I’ve become a rhyme in every scratch of your poems Your poems are tears between arrival and departure We attack each other, brawl at sometimes Since life is the roll of leaving and being left I’ve become a rhyme in your handage of poems, my love A lady and a lord in the wallow of longing in the last twilight The fluctuative times opened up a door to a journey Your poems succeeded drowning me in a never ending swirl I’ve become a rhyme in your collection of poems The poems sometimes become a distance and make broken Afternoons beco

Berkunjung ke Permukiman Orang Rimba Pulau Lintang

Bila mendengar kata “Orang Rimba” apa yang terlintas di benak Anda? Ternyata tidak semua Orang Rimba atau SAD (Suku Anak Dalam) tinggal di hutan loh. Sebagiannya sudah menetap di permukiman bantuan pemerintah sebagaimana Orang Rimba di Pulau Lintang. Mereka yang tinggal di permukiman adalah yang telah kehilangan hutan. Hidup berumah dan menetap laiknya orang modern, ternyata bukanlah mimpi buruk bagi mereka. Nah, masih penasaran dengan kisahnya? Kali ini saya akan menceritakan kisah perjalanan saya ke Pulau Lintang. Suatu ketika, saya dan dua teman perempuan berkunjung ke Pulau Lintang untuk keperluan riset. Pulau Lintang bukanlah sebuah pulau yang berada di tengah laut, melainkan nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Dari Kota Jambi ke Pulau Lintang perjalanan ditempuh dengan kurun waktu empat jam saja. Kami pun berhenti di salah satu rumah masyarakat dusun yang sangat dekat dengan permukiman Orang Rimba. T

Sebelik Sumpah,Bisnis Sampingan Suku Anak Dalam

Sahabat Puan pernah mendengar sebelik sumpah khas sad (Suku Anak Dalam)? Jika belum pernah, ayo simak liputan puan.co!   Sebelik sumpah merupakan kerajinan tangan khas orang rimba / SAD di TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas). Kerajinan tangan ini berupa gelang, kalung, dan gantungan kunci. Orang rimba atau SAD meyakini bahwa kalung dan gelang sebelik sumpah memiliki kekuatan magis meski tanpa diberi mantra sekalipun. Mereka percaya bahwa orang yang memakai kalung dan gelang sebelik sumpah akan terbebas dari sumpah serapah orang-orang yang bermaksud jahat. Malah, sumpah serapah itu dipercaya akan berbalik ke tuannya, seperti senjata makan tuan. Selain itu, sebelik sumpah juga bisa menjadi penolak bala yang datang kepada mereka. Karena penasaran dengan kerajinan tangan khas ini, saya pun berkunjung ke Sako Napu Makekal Hulu di TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) Merangin, Jambi. Di ibu kota Kabupaten Merangin, yaitu Bangko, tepatnya di mes Sokola Rimba, saya be

Puisi Rini Febriani Hauri dalam Skripsi Mahasiswa Sanata Dharma

I'M Not A PIRATE: A Woman in Past i’m not a pirate who disguised as a robber the puddle of memories at end of leaf immersed in time – slowly i was still silent day dreaming flowing in the circle of years you are graceful women with a polite speech i’d rather see you in a dress rather than sweep at dewy dock as before, we started to get up and i tucked ylang flower in your heart when the rain falls Jerambah Bolong, 2012 Diterjemahkan oleh M. Andre, mahasiswa Pascasarjana Universitas Pendidikan. Versi Bahasa Indonesia BUKAN SEORANG LANUN : Perempuan Masa Lalu aku bukanlah seorang lanun yang menyamar menjadi penyamun genangan kenangan di ujung daun tergenggam waktu – lambat laun aku masih diam melamun mengalir di lingkaran tahun kau perempuan-perempuan anggun dengan tutur kata yang santun aku lebih suka melihatmu memakai gaun ketimbang menyapu dermaga embun seperti dahulu kita mulai bangun dan kuselipkan kenanga di hatimu bila

Puisi Rini Febriani Hauri di Harian Kabar Madura

  Burung-Burung Peluru di bawah sinar matahari yang keemasan burung-burung berlompatan bebas membelakangi angin dan pohon-pohon menceburkan diri ke awan-gemawan sayap-sayapnya mengapung di atas langit kicaunya adalah jeritan ketakutan tuan-tuan pemburu membawa senapan dengan ransel penuh peluru mereka mencari sarang-sarang burung dan menguntit perjalanan burung-burung dari bukit yang jauh, burung-burung tahu berlari – jauh – seperti musafir yang ketakutan di sebuah ranting pohon bunga angsana burung betina menangis sendu gemetar di dalam cemas anak serta sarangnya hilang dikoyak peluru ulat-ulat daun menggelinjang kelopak bunga angsana berguguran bahkan pohon tak bisa memberikan perlindungan dalam doanya sebuah suara melesat dan tiba-tiba gelap seperti dingin yang beku di akhir malam ia seperti embun yang jatuh tubuhnya meleleh dan hancur di rerumputan dari arah barat hingga ke selatan cerobong-cerobong pabrik terus bergemuruh besi-

Puisi-Puisi William Butler Yeats Terjemahan Rini Febriani Hauri

Ketika Kau Menua KETIKA kau menua, kelabu dan pengantuk, terangguk-angguk di dekat pendiangan, ambillah buku ini, bacalah pelan-pelan dan khayalkan pandangan matamu, yang dahulu lembut dan bayangannya yang dalam; betapa banyak yang  mengagumi saat-saat riangmu, dan mencintai kemolekanmu dengan cinta murni ataupun palsu tetapi seorang lelaki mencintai  kesalehan di dalam dirimu, dan mencintai kemurungan roman wajahmu yang silih berganti; sambil membungkuk di samping besi pendiangan yang berkilauan bara api bergumam, sedikit sedih, betapa cinta terbang dan melayang ke atas puncak gunung nun jauh di sana lalu menyembunyikan wajahnya di tengah kerumunan bintang-bintang 1919 Menjelang Fajar KEMBARAN mimpikukah ini? perempuan yang lelap terbaring di sisiku dan bermimpi ini, ataukah kami telah membelah mimpi dalam naungan kilauan dingin pertama hari ini? pikirku: ‘Ada air terjun di sisi Ben Bulben yang kusayang sepanjang masa kecilku;

Antara Penyair Perempuan dan Puisi Esai

Proyek penulisan puisi esai nasional Denny J.A. (DJA) jilid II melibatkan berbagai penulis dari 34 provinsi se-Indonesia. Dalam satu buku puisi esai, terdiri atas lima penulis yang mewakili setiap provinsi, yang akan diterbitkan secara serentak di Indonesia. Masing-masing penulis mendapatkan kontribusi sebesar Rp5 juta. Namun akhir-akhir ini, proyek penulisan tersebut menimbulkan polemik baru dalam sastra Indonesia. Tiba-tiba saja muncul berbagai penolakan puisi esai dari banyak komunitas. Di antara pro dan kontra puisi esai, sebagian penulis puisi esai adalah penyair perempuan. Di lain pihak, ada juga beberapa penyair perempuan yang mengundurkan diri. Mengapa puisi esai menimbulkan berbagai polemik? Bagaimana isu perempuan dalam puisi esai? Simak hasil wawancara puan.co bersama Dellorie Ahada Nakatama, Fatin Hamama R. Syam, Rukmi Wisnu Wardani, dan Waode Nur Iman berikut ini! Dellorie, Penyair yang Mengundurkan Diri dari Puisi Esai Setelah viral nama beberap

Megengan, Tradisi Masyarakat Bumi Reog Ponorogo

Megengan adalah sebuah tradisi kenduri bersama masyarakat bumi reog Ponorogo yang diadakan bergiliran di rumah warga sekitar yang telah disepakati. Selain di rumah warga, terkadang ada juga yang memilih masjid sebagai lokasi kenduri. Megengan dirayakan dua kali, yakni seminggu menjelang bulan Ramadan dan seminggu menjelang hari raya Idulfitri. Acara megengan dilaksanakan pada malam hari. Jika menyambut idulfitri, biasanya diadakan usai salat tarawih. Salah satu wilayah yang masih merayakan tradisi megengan , yakni Kelurahan Keniten, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. Dalam bahasa Jawa, megengan berarti menahan. Maka warga masyarakat yang akan menahan rasa haus dan lapar saat Ramadan perlu menyambut kedatangan bulan suci Ramadan dan Idulfitri dengan gembira dan sukacita. Dwi Rahariyoso, lelaki yang berdiam di Keniten Ponorogo, mengatakan bahwa acara megengan ini sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat di bulan Ram

Resensi : Disorientasi Berujung Maut

  Pernahkah Anda merasa tersihir usai membaca sebuah novel? Bila belum, novel terjemahan yang ditulis oleh penulis Mesir ini bisa menjadi salah satu pilihan membuang waktumu. Kisah dimulai ketika Said Mahran yang baru lepas dari jeruji besi, merasa harus mencari Nabawyya dan Ilish. Sebab ia merindukan Sana – anak perempuan berusia enam belas tahun hasil pernikahannya dengan Nabawyya. Namun nasib buruk telah menghantamnya. Sana menyangkalnya. Ia tak mau mengikuti ayahnya yang mantan narapidana – pencuri berdarah dingin sekaligus residivis kelas kakap. Kehancuran merobek-robek hati Said. Ditambah lagi, Nabawyya telah menikah dengan Ilish – bawahannya sekaligus bekas sahabat baiknya. Di tengah perjalanannya, ia bertemu Nur – kekasih lamanya – yang rela melakukan apa pun demi Said. Namun pada akhirnya, Nur pun melakukan pengkhianatan dengan menjalin kisah dengan lelaki lain. Sebab Said Mahran adalah lelaki yang kaku, sementara perempuan butuh lelaki yang hangat. Said sel

Sahabat, Sudahkah Membahagiakan Ibunda?

Di Indonesia, setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Tak sedikit ucapan yang dikhususkan untuk ibu di media sosial. Ungkapkan perasaan di dunia virtual itu pun bermacam-macam. Mulai dari menggunakan bahasa daerah, bahasa Indonesia, hingga bahasa Inggris, katanya sih biar kekinian. Tak hanya kata-kata yang trenyuh, ada pula yang bergaya dengan sang ibu di akun medsosnya. Beberapa akun pun mengadakan perlombaan memperingati Hari Ibu dengan hastag tertentu. Perayaan tahunan semacam ini memang sebagai salah satu bentuk apresiasi terhadap jasa ibu yang selama ini telah merawat dan membesarkan anaknya tanpa pamrih. Namun, apakah ungkapan-ungkapan perasaan ini juga disampaikan oleh warganet secara langsung di dunia nyata? Kenyataannya tak demikian, tak semua yang mengunggah ungkapan puitis di medsos buat sang ibu berani diucapkan secara langsung. Dalam artian, kecanggihan teknologi memunculkan fenomena baru bahwa euphoria dianggap sebagian warganet seba

Rise For Holiday