Langsung ke konten utama

Merumuskan Model Pembelajaran "Multi Peran" Perlindungan Saksi dan Korban




Oleh : Andi Mulya S.Pd., M.Si.

Master Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia dan  Pemenang Lomba Buku Gerakan Literasi Nasional 2017

Foto: www.Tribunnews.com

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tidak hanya berperan strategis bagi penegakan hukum, melainkan juga indikator pemerintahan baik dan benar (Effendi, dalam Sumadikara, 2006: 1). Usaha mendidik masyarakat peduli terhadap kewajiban dan haknya dalam bidang hukum sangat penting dilakukan termasuk kaitannya dengan subjek sebagai saksi dan korban. Guru atau pendidik umumnya dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi memiliki peran strategis menghasilkan sumber daya manusia bermutu  dari awam, tidak peduli, dan tidak menyadari tentang saksi dan korban, menjadi mengerti, peduli, dan sadar akan hak dan kewajiban atas aspek hukum dimaksud. Pendidik yang hebat akan menginsipirasi dan memotivasi masyarakat dalam proses belajar mengajar sehingga bertindak sesuai dengan ilmu pengetahuan yang diterimanya. Oleh sebab itu, proses belajar mengajar yang bermutu memerlukan model pembelajaran yang tepat. Model pembelajaran itu menjadi modal guru mengajarkan materi pelajaran secara cepat dan akurat serta kaya akan contoh-contoh yang menginsipirasi sekaligus memotivasi masyarakat yang menerima pembelajaran saksi dan korban tersebut. 

Pembelajaran hukum tentang saksi dan korban yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2006 masih minim dilakukan (Herawati: tanpa tahun). Demikian pula kajian dan penelitian tentang saksi dan korban umumnya, dan model pembelajarannya umumnya, juga sangat terbatas. Sementara masalah hukum terus terjadi di tengah masyarakat sebagai buah dari interaksi masyarakat dalam satu komunitas kecil maupun lingkungan yang luas dalam negara RI. Masalah-masalah di pengadilan bukan hanya makin kompleks sifatnya, melainkan juga makin berbuntut panjang pertanda bahwa bahwa hukum sangat dinamis, dan berkembang sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, sosial, politik, dan pertahanan keamaman nasional.

Era Orde Baru, misalnya sekadar kilas balik,  korupsi cenderung selesai di pengadilan dan pemberitaan yang terbatas pada media cetak dan TVRI,  milik pemerintah. Setelah Era reformasi, korupsi meluas. Tercatat 290 dari 448 atau 47,8% terdakwa KPK adalah pejabat tinggi atau kalangan eksekutif. Dari jumlah itu yang terbesar adalah anggota DPR baik pusat dan daerah, Eselon I sampai III, serta gubernur, bupati dan walikota (Data sampai 31 Desember 2014, Susanto dalam Mulya, dkk. 2017: 3-4).

Adanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hadir dengan harapan tinggi sekaligus kedaulatan (power) serta kewenangan luar biasa. Akhinya kita dipertontonkan pada korupsi yang mengular, seperti yang tak berujung, disebut korupsi berjamaah. Dari kondisi sosial itulah muncul pula Whistle blower, yakni orang ‘dalam’ yang sangat mengerti karena menjadi tersangka korupsi, Ia menjadi korban karena pengadilan tidak membidik semua yang bersalah, namun akan dihargai sebagai ‘pahlawan’ bila mau membongkar jaringan tindak korupsi. Saat itulah populer julukan ‘Mr Blower dari satu partai besar sekitar tahun 2000.  Waktu sering bolak-blaik ke DPR-RI, sebagai tenaga ahli, terbayang terus wajah Agus Condro Prayitno sang ‘Mr Blower’ itu sangat khas, penuh sungguh-sungguh, dan ‘ndeso.’ (Hukumonline.com). Akan tetapi, beberapa orang yang awalnya berlindung di kekuasaan akhirnya terkena hukum juga. Itulah dampak dari keberanian saksi dan korban, sebagaimana: “Diam Bukan Pilihan,” tema dari perayaan program Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tahun 2017 ini.  

Wistle Blower. Anggota DPR RI, Agus Condro Prayitno menjadi populer karena keberaniannya menjadi peniup peluit atau wistle blower atas korupsi sejumlah rekannya sesama anggota dewan. Foto: Hukumonline.com

Berbeda dengan 'Mr Blower' kasus persekusi berkembang dalam enam bulan terakhir, terkait dengan ujaran yang tidak bertanggung jawab melalui media sosial. Persekusi sudah lama ada dalam kandungan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga yang kemudian disakiti, dipersusah, atau ditumpas. Kasus itu menimpa dokter F pada 22 Mei, dan remaja PMA 28 Mei 2017. (x)

Persekusi menjadi populer sebagai perkembangan dari kata-kata yang dianggap menghina atau merendahkan satu kelompok.Lalu oleh kelompok yang terkena atai dkenai ujaran tersebut, ‘diburu’ diminta klarifikasi, dan diakhiri dengan penyelesaian damai bila ada kesepahaman dan saling memaafkan. Bedanya, korban belum disebut populer dengan ‘Mr. atau Mrs. Persekutor.’

Model Pembelajaran 

Di tengah terjadinya kasus-kasus hukum yang perlu diungkap secara benar, adil, dan profesional tersebut, masyarakat masih apatis, tidak peduli, bahkan takut menjadi saksi atau bersaksi di pengadilan sebagai korban kejahatan. Perlindungan dari  negara masih terbatas karena terbatas pula dana dan sumber daya manusianya. Situasi dan kondisi di lapangan juga menyebabkan perlindungan terhadap saksi dan korban secara geografis belum mampu menjangkau sampai ke daerah-daerah Indonesia. Secara personal juga belum mampu memberi perlindungan ke pribadi-pribadi (private) saksi atau korban.

Oleh sebab itu, diperlukan upaya yang cepat dan tepat membangkitkan masyarakat pada tahap awal mengerti akan hak dan kewajiban hukumnya sebagai saksi dan korban. Tahap selanjutnya adalah mengajarkan kepada masyarakat melalui pendidikan forma dan informal. Kemudian memiliki keberanian menegakkan kebenaran atas hak dan kewajiban hukum tersebut.

Guna memudahkan pendidik mengajarkan sekaligus menyosialisasikan  perannya sebagai subjek dalam aspek saksi dan korban,  diperlukan satu model pembelajaran yang efektif dan efisien. Model pembelajaran akan menjadi panduan untuk proses belajar-mengajar tercapai dengan hasil baik dan  maksimal, sekaligus  menyebar-luaskan kesadaran aspek hukum saksi dan korban  bagi masyarakat. 

Ada banyak motede pembelajaran yang dikembangkan oleh ahli pendidikan, namun perlu dianalisa manakah yang relevan dan efektif untuk memotivasi masyarakat terkait pembelajaran saksi dan korban. Untuk tahap awal penulis merumuskan model pembelajaran modifikasi bernama Multi Peran yang merupakan gabungan dari tiga model pembelajaran. Disebut Multi Peran karena mengadopsi tiga model pembelajaran yakni Gambar demi Gambar (picture to picture), Kepala Bergambar (numbered heads together), dan Skrip Kooperatif (cooporative script).  

Metode Gambar demi Gambar intinya adalah memaksimalkan kemampuan peserta memahami gambar sesuai dengan persepsinya sendiri. Konsep dan materi tentang saksi dan korban tertanamkan dan terpahami dengan sendirinya saat menyusun gambar tersebut. Adapun metode pembelajaran Skrip Kooporatif pada intinya memaksimalkan keterlibatan peserta karena mereka secara berpasangan dijadikan sebagai pembicara dan pendengar. Proses belajar mengajar tentang saksi dan korban berkembang dari peserta sendiri, baik kreativitas menyajikan, mencontoh/memerankan, maupun mengembangkan gagasan. Saat menjadi pendengar, ia mengevaluasi.  


Multi peran di dalam kelas bagi pembelajaran saksi dan korban (Foto: Andi Mulya)

Sedangkan metode pembelajaran Kepala Bergambar meningkatkan pengalaman peserta karena interaktif dalam kelompok, sekaligus lintas kelompok. Peserta awalnya dibagi atas empat atau lima kelompok, yang masing-masing diberi nomor kepala. Materi Perlindungan saksi dibagikan untuk dipahami. Setiap peserta memperoleh tugas membaca dan memahami materi yang berbeda dalam kelompok. Mereka saling memaparkan hasil pemahamannya dalam kelompok. Peserta lain membahas atau menanggapi. Untuk memperkaya pemahaman maka peserta membaur  lintas kelompok sesuai dengan nomor urut. Mereka berdiskusi lagi tentang tanggapan yang mereka peroleh dari kelompok sebelumnya.

Materi yang dibagikan kepada setiap peserta dipersiapkan oleh instruktur, yang dimungkinkan dibahas dalam bagian lain dari tulisan ini. Akan tetapi pada pokoknya baik gambar dan materi tersebut disusun dengan bahasa yang enak dibaca, substantif isinya tentang masalah-masalah Perlindungan Saksi dan Korban, serta contoh-contoh kasus yang relevan dan aktual sehingga diskusi selain menyenangkan karena Metode Pembelajarannya interaktif, juga fokus menanamkan pemahaman perlindungan saksi dan korban.

Selanjutnya, untuk menginspirasi peserta, ketiga metode pembelajaran tersebut di atas dikembangkan menjadi Multi Peran. Multi Peran cocok dikembangkan untuk pelatihan 10-20  jam pelatihan yang tentu dengan materi yang komprehensif  sesuai dengan kebutuhan atas ruang dan waktu pelatihan. Multi Peran menampilkan proses pengadilan atas perkara pidana yang menonjolkan pentingnya perlindungan saksi dan korban di dalamnya. Secara ringkas urutan kegiatannya sebagai berikut :  1. Seluruh peserta beroleh materi umum tentang satu kasus hukum, termasuk Pasal-pasal pidana yang dikenakan oleh pengadilan. Mereka berdiskusi namun dibantu dengan gambar-gambar yang melukiskan tentang kemungkinan akhir dari keputusan pengadilan. 2. Sesuai seting pengadilan, peserta ditunjuk secara lengkap layaknya pengadilan sehingga ada yang berperan sebagai jaksa, hakim, terdakwa, saksi, korban, pengacara. Bahkan secara lengkap juga ada yang memerankan keluarga saksi, keluarga korban, pengunjung, termasuk petugas dan Polisi, yang memberi perlindungan pada saksi dan korban. 3. Semua peserta diberi ruang untuk mengembangkan tindakan dan dialog sesuai perannya namun diarahkan semua pada perlindungan saksi dan korban. Bila satu sesi sudah dianggap lancar dan tertanam materi dan konsep perlindungan saksi dan korban, maka peran diganti atau diputar sehingga satu sesi akan menjadi perbandingan dengan sesi lainnya. Demikian sumbangan pemikiran ini disampaikan sebagai pokok-pokok pikiran yang ringkas, dan semoga menginspirasi bagi penegakan hukum Indonesia. ***  

  





DAFTAR PUSTAKA



Arwalembun, Raimondus. Urgensi Perlindungan Saksi  di Indonesia, makalah.
BALAI PUSTAKA, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dari https://kbbi.web.id/persekusi  diakses 30 Oktober 2017.  
Mulya, Andi. Zulham. Sutisna. Nahyan. Model Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Gerakan Anti Korupsi Bidang Pembangunan Olahraga bagi Mahasiswa Fakultas Ilmu Olahraga, Universitas Negeri Jakarta. Proposal penelitian untuk call of proposal Komite Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, 2017.
Sumadikara, Tedi Subarsyah. Eksistensi Perlindungan Saksi dan Korban dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Litigasi Vol 17, 2016.    
UU No 13 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
UU No 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan UU NO 13 Tahun 2013 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Herawaty S., Nenden, Perlindungan Saksi dan Korban. Makalah http://journal.iain-manado.ac.id/index.php/JIS/article/download/64/58 diakses 30 Oktober 2017 pukul 12.03 WIB.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fb7bff86349a/perbedaan-iwhistle-blower-i-dan-ijustice-collaborator-i diakses 30 Oktober 2017 15.57 WIB.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pepatah Jepang I

diambil dari catatan Facebook, 17 Agustus 2010         Pepatah dalam bahasa Jepang disebut kotowaza (ことわざ)salah satunya nih, iwanu ga hana いわぬ が 花 artinya, tidak bicara itu bunga, maksudnya  diam adalah emas. "Aite no nai kenka wa dekinu" artinya Orang tak bisa bertengkar tanpa musuh. "Shippai wa seikou no moto" artinya kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda "Hito no uwasa mo shici jyu go nichi"  (人の噂も七十五日) artinya, gosip/rumor hanya bertahan selama 75 hari alias gosip/rumor tidak akan bertahan lama.  "Sarumo ki kara ochiru" 猿も木から落ちる  artinya kera juga bisa jatuh dari pohon.  Sama artinya dengan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga "Baka mo ichi-gei" 馬鹿 も いちげい artinya, orang bodoh pun punya kelebihan/kebaikan "Arashi no ato, sora ni niji ga kakarimashita" artinya Badai pasti berlalu "Onna sannin yoreba kashimashii" artinya: di mana pun ketika ada t

10 Alasan Mengapa Kita Harus Berkunjung ke Perpustakaan

Hai, Sahabat Puan, sudah ada yang tahu kalau tanggal 14 September ternyata diperingati sebagai hari berkunjung ke perpustakaan? Ada yang tahu mengapa di Indonesia memunculkan hari peringatan ini? Tentu saja alasannya supaya masyarakat mau datang dan singgah untuk membaca. Coba ingat-ingat, selama bulan September ini, sudah berapa kali Sahabat Puan berkunjung ke perpustakaan? Beberapa kali atau bahkan tidak sama sekali? Sebenarnya, apa saja sih alasan-alasan seseorang mengunjungi perpustakaan? Yuk, simak alasannya berikut! Bisa Meminjam Buku Karena di perpustakaan adalah gudangnya buku, kamu bisa datang untuk meminjam buku apa saja sesuai keinginanmu. Syarat-syarat dan ketentuannya pun berbeda-beda sesuai regulasi perpustakaan masing-masing. Jika kamu sangat ingin membaca suatu buku dan kebetulan kamu tidak memiliki buku tersebut, atau buku tersebut sulit dicari di pasaran karena sudah langka, salah satu alternatif untuk membacanya adalah meminjam ke perpustakaan

Buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia

Oleh: Tri Wahyuni Zuhri Judul  : Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia Penulis : Kurniawan Junaedhie Penerbit : Kosa Kata Kita Jakarta Jumlah hlm. : 338 Tahun : 2012 Buku yang di tulis oleh Kurniawan Junaedhie dan di terbitkan oleh Kosa Kata Kita Jakarta, memang cukup banyak di cari. Terutama karena buku ini memuat sekitar 800-an lebih profil perempuan pengarang dan penulis Indonesia.  Sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran 1897, hingga Sri Izzati, pengarang kelahiran 1995. Dalam kata pengantar di buku ini, Kurniawan Junaeid menjelaskan alasannya membuat buku Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia.  Selama ini masih sedikit sekali buku  literatur yang menjelaskan sepak terjang perempuan pengarang dan penulis di Indonesia.  Sebut saja buku-buku tersebut antara lain Leksikon Kesustraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) di susun oleh Pemusuk Eneste, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang di su

Rise For Holiday