Tulisan ini pernah dimuat di majalah wanita online puan.co tertanggal 11 Agustus 2017. Untuk melihat langsung, sila cek http://puan.co/2017/08/kisah-kisah-persahabatan-dan-perempuan-di-dataran-tortilla/
Penulis :
John Steinbeck
Penerjemah :
Djokolelono
Penerbit :
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Tebal Halaman : 219 halaman
Siapa yang tidak mengenal John
Steinbeck. Penulis kelahiran Salinas – California – kelahiran 1902 yang pernah
mendapat penghargaan Pulitzer pada 1940
dan meraih nobel pada 1962. Sayang, ia meninggal pada 1968. Salah satu novelnya
ia hasilkan berjudul Dataran Tortilla.
Dataran Tortilla adalah novel
yang aslinya dalam versi bahasa Inggris berjudul Tortilla
Flat yang terbit pada tahun 1935.
Sebelum novel terjemahan ini diterbitkan oleh KPG, dahulunya novel ini pernah
diterbitkan hingga dua kali naik cetak oleh Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya.
Cetakan pertama tahun 1977 dan cetakan kedua tahun 2009. Agaknya, Penerbit KPG
membeli hak cipta terjemahan dari Penerbit PT Dunia Pustaka Jaya.
Novel Dataran Tortilla menggambarkan kehidupan kaum paisano, rakyat jelata yang berdarah campuran Spanyol, Indian,
Meksiko, Kaukasia, dan berbagai ras kulit putih Eropa. Kisah ini berlatar di
ketinggian kota tua Monterey, California, tepatnya di sebuah daerah yang
bernama Dataran Tortilla walaupun sebenarnya daerah itu sama sekali tidak
datar. Kisah dalam cerita ini dipercayai pernah ada pada masa lalu sebagai cerita yang berkembang secara lisan di
masyarakat. John Steinbeck meyakini cerita ini penting dibukukan, sebab selain
menjaga ingatan tentang sejarah, juga sebagai tinggalan kepada dunia yang tak
sarat dengan nilai-nilai kehidupan di dalamnya.
Tokoh utamanya bernama Danny –
seorang gelandangan yang terkadang mencuri demi kebutuhan hidupnya dan beberapa
kali keluar masuk penjara – tiba-tiba menjadi ahli waris dua buah rumah di Dataran
Tortilla dari kakeknya yang meninggal dunia. Derajat sosial Danny pun tiba-tiba
berubah menjadi orang terpandang sehingga ia dikejar-kejar perempuan desa yang
juga memiliki rumah. Di zaman itu di Dataran Tortilla banyak sekali rakyat
jelata yang miskin, compang-camping, tidur seadanya: terkadang di dalam selokan
yang hanya beratapkan langit saja.
Sepulang dari dinas ketentaraan,
di perjalanan, Danny bertemu dengan Pilon – teman lamanya. Pilon yang juga gelandangan kemudian menyewa rumah
Danny bersama Pablo. Dua rumah yang diwarisi kakeknya itu bersebelahan. Karena
takmampu membayar uang sewa yang Pilon janjikan, juga karena kecerobohan
mereka, akhirnya rumah yang ia sewa hangus terbakar. Danny yang dermawan
memaafkaan mereka meskipun dongkol sekaligus mengizinkan mereka tinggal di
rumah utamanya tanpa imbalan uang dengan mengajak serta teman lainnya, yakni
Jesus Maria, si Bajak Laut dan kelima anjingnya, serta Big Joe Portugis.
Di sanalah persahabatan terjalin.
Mereka hidup rukun dan saling berbagi. Kisah hidup mereka sangat absurd dan
jauh dari modernitas. Bahkan, barangkali novel ini bisa dikatakan menolak
modernitas. Bayangkan saja, hanya si Bajak Laut yang berpakaian compang-camping
yang setiap hari bekerja mencari kayu dan mencari sisa-sisa makanan ke
restoran-restoran. Sisa makanan yang ia
dapatkan setiap hari lalu diberikan ke Danny dkk. dengan tulus.
Sementara Danny dan keempat
temannya tidak bekerja secara tetap
sebagaimana manusia di dunia nyata. Mereka hidup seadanya dan bekerja paruh
waktu hanya jika sedang terdesak saja. Setelah bangun tidur, mereka makan lalu
berbincang-bincang sambil minum sepuasnya sampai mabuk atau bepergian sesuka
hati mereka, kemudian tidur lagi. Begitu seterusnya. Rutinitas yang membosankan
– yang bagi orang-orang masa kini bisa
dikatakan sebagai pengangguran. Ukuran kebahagiaan keenam sahabat ini memang
bukan uang seperti penganut hedonisme. Ukuran kebahagiaan bagi mereka terletak
pada galon-galon berisi anggur yang memabukkan. Tujuan mereka hidup hanyalah
untuk bersenang-senang tanpa memikirkan dan mempertimbangkan baik atau buruk.
Di rumahnya – Danny yang
nonkonformis – adalah pemimpin dari kelompok petualang yang menjalin persahabatan.
Di sanalah mereka dapat menyatukan perbedaan. Dalam perjalanan cerita
tokoh Danny dkk. – banyak bermunculan tokoh-tokoh perempuan – yang barangkali
benar-benar menggambarkan perempuan-perempuan paisano di masa lalu. Uniknya, tokoh perempuan yang dimunculkan
oleh Steinbeck adalah perempuan-perempuan kaya “yang memiliki rumah” – yang
bisa dikatakan penganut materialisme sekaligus haus akan cinta. Perempuan-perempuan
ini memandang seorang lelaki dari hartanya belaka. Sebut saja Cornelia Ruiz,
perempuan yang dipuja-puja oleh Danny dkk. sepanjang hidupnya atau si Manis –
Dolores Engracia Romirez – perempuan manja yang mendekati Danny lantaran Danny
memiliki rumah.
Sosok perempuan lain sejenis yang
dimunculkan, misalnya tokoh Ny. Palociho, Emilio, Sussie Fransisco, Ny.
Muralos, Gracie Montez, Tonia, Ny. Pleton Duta, hingga si Tua Tia Ignacia yang
jatuh cinta kepada Big Joe Portugis. Tokoh-tokoh ini beberapa kali muncul dalam
cerita, beberapa diantaranya dinarasikan oleh para tokoh lelaki saat berada di
rumah Danny. Tokoh-tokoh perempuan yang lebih banyak daripada tokoh lelaki ini
barangkali menggambarkan bahwa di zaman itu – dipercayai masih sama dengan
zaman sekarang – yakni perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Terlebih lagi
ada tokoh perempuan bernama Tereseia Cortez yang memiliki delapan anak. Ia
tidak memiliki suami dan hidup bersama ibunya yang renta.
Suatu ketika Teresia Cortez
kebingungan karena kehabisan makanan pokok keluarganya, yakni kacang polong. Anak-anaknya
yang masih kecil kelaparan. Terlebih si Teresia sedang hamil anak
kesembilannya. Jesus Maria – si rendah hati – yang mengetahui masalah ini
kemudian memberi tahu teman-temannya. Demi membantu keluarga tersebut, mereka
rela mencuri lauk-pauk di pasaran hingga berton-ton kacang merah di sebuah
perusahaan. Memang, Danny dkk. sangat senang menolong orang lain. Kerja sama di
antara mereka terjalin dengan sangat baik meskipun beberapa kali terjadi
perbedaan pendapat dengan si antagonis – Pilon. Sebut saja, mereka juga
menolong seorang kopral yang terlunta-lunta di selokan bersama seorang bayi. Mereka
mengizinkan kopral tersebut tinggal di rumah Danny hingga saat-saat yang tidak
diinginkan tiba, bayi si kopral meninggal dunia.
Novel Dataran Tortilla yang terdiri atas tujuh belas bab ini memang
sangat menarik dari segi penceritaannya. Steinbeck sangat piawai menggambarkan
perwatakan tokoh. Steinbeck tidak hanya menggambarkannya melalui teknik
analitis (penceritaan secara langsung) saja, tetapi ia juga berhasil
menggambarkan watak tokoh melalui teknik dramatik (tindakan tokoh, dialog
antartokoh, dan lingkungan tokoh). Dua teknik yang digunakan oleh Steinbeck
berhasil memasuki relung-relung psikologis pembaca. Sebab selain teknik penokohan,
cerita ini penuh dengan renungan filosofis. Meski bahasa terjemahannya sangat baku dan
terkesan kaku, namun pembaca masih bisa memahaminya dengan baik. Hanya saja di
dalam cerita terdapat beberapa bahasa latin yang tidak diberi arti sehingga
menyulitkan pembaca memahami kalimat secara gramatikal.
Cerita ini diakhiri dengan
kematian Danny. Kelima temannya merasa sedih dan sepi. Yang terkenang di kepala
mereka adalah kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan Danny. Di sisi implisitnya, Steinbeck mengutarakan
kritik sosial tentang upacara pemakaman yang harus memakai pakaian bagus – jas
– namun, kelima teman Danny yang miskin tidak memiliki Jas. Untuk mencuri Jas
pun tidak sempat karena waktu yang mendadak sehingga upacara pemakaman ala
prajurit tentara ini tak bisa mereka hadiri secara utuh.
Upacara pemakaman terkesan
eksklusif dan hanya bisa dihadiri oleh orang-orang kaya saja (memiliki jas). Padahal,
fokus utama dari upacara adalah memasukkan mayat ke dalam lubang kuburan.
Kenyataannya, tradisi berkata lain. Orang-orang miskin yang tak memiliki jas
atau orang-orang yang tidak berjas dilarang menghadiri upacara pemakaman.
Akhirnya, Dengan pakaian compang-camping, mereka menyaksikan pemakaman Danny
dengan berlindung dari semak belukar yang tinggi menjulang.
Novel yang luar biasa memberikan
banyak pelajaran sekaligus pengalaman ini tentu saja akan lebih menarik bila
diselami lebih dalam. Kapan lagi kita membaca karya sastra berbobot yang
memberikan banyak renungan sekaligus nasihat tentang hakikat manusia dalam
menghadapi nasibnya.
Rini Febriani Hauri, Buku
puisinya berjudul Suatu Sore, Bersama Jassin (Bawah Arus, 2016). Sehari-hari
bekerja sebagai pengajar dan editor lepas. Sesekali meluangkan waktu untuk belajar sebagai
penerjemah. Sekarang bermukim di Jambi.
Komentar
Posting Komentar