Setiap tanggal 17 Agustus negara
Indonesia pasti merayakan kemerdekaan. Kemerdekaan adalah anugerah terbesar
yang bisa kita rasakan sekarang ini. Berkaitan dengan perayaan kemerdekaan,
sudah menjadi hal yang lumrah bila di tiap desa hingga tingkat nasional
mengadakan beberapa perlombaan. Perlombaan biasanya diadakan mulai tanggal 17
Agustus hingga akhir Agustus. Tak jarang pula, ada beberapa desa yang masih
merayakan kemerdekaan Republik Indonesia hingga awal September.
Perlombaan dalam rangka
kemerdekaan tidak hanya diadakan oleh para masyarakat umum saja, tetapi juga masyarakat
sekolah hingga perguruan tinggi. Lomba-lomba yang diadakan, seperti lomba makan
kerupuk, balap karung, joget balon, menyanyi, memasukkan kelereng ke dalam
botol, hingga panjat pinang. Peserta lomba pun beragam, mulai dari anak-anak
sampai orang dewasa. Biasanya, puncak acara yang paling seru dan paling ramai
ditonton adalah perayaan tradisi panjat pinang.
Panjat pinang sejatinya adalah
sebuah perlombaan memanjat batang pohon pinang yang sudah dihaluskan dan
diolesi pelumas, seperti minyak dan oli. Biasanya Di atasnya sudah terdapat
berbagai macam hadiah, mulai dari barang-barang primer hingga sekunder, seperti
makanan, pakaian, sepeda, boneka, bantal, keperluan dapur, dll. Bagian paling
atas hadiah, diberi bendera merah putih yang akan berkibar bila tersapu angin. Hadiah
ini beragam tergantung keuangan desa. Selain dana kas desa, biasanya dana
bersumber dari iuran sukarela masyarakat.
Peserta panjat pinang ini bukan
hanya laki-laki saja, terkadang ada juga panjat pinang yang khusus diadakan
untuk ibu-ibu. Kreativitas dan kerja sama tim sangat dibutuhkan dalam
perlombaan ini. Sebab perjuangan jatuh bangunnya seringkali mengundang gelak
tawa hingga tepukan tangan yang meriah. Bila sampai ke puncak, biasanya sorak
sorai akan lebih membahana dan hadiah tentu saja akan dibagi rata kepada tiap
peserta lomba.
Menurut sumber yang dilansir dari
Jawa Pos, dulunya, lomba panjat
pinang pada zaman kolonial dikenal dengan istilah “de klimmast” artinya
memanjat tiang, dirayakan setiap tanggal 31 Agustusus untuk memperingati hari
lahir Ratu Wilhelmina. Selanjutnya diadaptasi oleh masyarakat kita yang dipakai
untuk merayakan kemerdekaan Republik Indonesia.
Jika ditilik dari sumber lain,
yakni Wikipedia, sejarah panjat pinang ini kurang membawa angin segar.
Barangkali tidak semua masyarakat mengetahuinya. Ternyata, panjat pinang ini
sudah ada dari zaman penjajahan Belanda. Di masa lalu, tradisi panjat pinang
ini diadakan oleh orang Belanda bila mereka menggelar acara-acara besar,
seperti pernikahan dan hajatan.
Lebih tepatnya, perlombaan ini
dianggap sebagai hiburan orang-orang Belanda di masa lalu. Uniknya, peserta
perlombaan adalah orang-orang pribumi. Sebab pada zaman dahulu mendapatkan
sebuah makanan dan keperluan rumah tangga yang digantung pada perlombaan ini
merupakan hal yang mewah. Juga perjuangan untuk mendapatkannya merupakan sebuah
kebahagiaan tersendiri.
Sementara masyarakat Indonesia
berjuang memanjat batang pohon pinang, orang-orang Belanda menonton sambil
terbahak-bahak. Bila kita membayangkan ke masa lalu, apa yang akan kita rasakan
ketika melihat saudara kita bersusah payah berjuang malah ditertawakan oleh
orang Belanda? Bukankah ini sebuah pelecehan terhadap nilai-nilai kemanusiaan?
Atau sebuah simbol kolonial yang hingga kini masih menimbulkan kesakitan bagi masyarakat
yang memahami sejarah? Bukankah ini sisi kelam dari sejarah yang tak seharusnya
dirayakan? Bagi masyarakat yang kontra akan perlombaan ini, tentu saja hal
tersebut sangat tidak diingankan ada. Namun, benarkah kebanyakan masyarakat
merasakan Indonesia merasa demikian?
Bila Sahabat Puan pernah menonton
sinetron karya Deddy Mizwar berjudul Para
Pencari Tuhan, ada sebuah adegan ketika ada tokoh yang menolak
mentah-mentah diadakan perlombaan panjat pinang di acara 17-an dengan alasan
sejarah kelam tersebut. Pro kontra semacam ini sebenarnya masih terus bergulir
hingga kini. Namun, tokoh tersebut jelas menggambarkan sisi lain masyarakat
yang menolak panjat pinang – yang barangkali ia menganggap bahwa kebanyakan
masyarat awam tidak memahami sejarah. Lantas, bila masyarakat Indonesia
kemudian memahami sejarah yang dianggap kelam tersebut, apakah tradisi panjat
pinang akan serta-merta hilang atau dihilangkan?
Meski ada golongan yang kontra, tentu
juga ada banyak masyarakat yang mendukung tradisi panjat pinang ini. Mereka
yang setuju berdalih perlombaan panjat pinang sebagai usaha menghormati dan
menghargai perjuangan para pahlawan yang telah gugur di medan perang? Selain
itu sebagai usaha memupuk solidaritas, saling tenggang rasa, meningkatkan
kepercayaan diri dalam kerja sama tim, gotong-royong, dan lain sebagainya.
Barangkali tepatnya begini.
Masyarakat Indonesia masa lalu – pribumi – yang melakukan panjat pinang, meski
ia menjadi tontonan dan lawakan bagi orang Belanda, namun ada hasrat lain dalam
memperjuangkan hadiah – yang pada masa itu bila masyarakat pribumi
mendapatkannya, ia akan merasa gembira dan sukacita sebab hadiah-hadiah
tersebut merupakan hal yang tidak muda mereka dapatkan. Kepuasan dalam berjuang
mendapatkan hadiah tersebut barangkali dituturkan dari mulut ke mulut sehingga
memunculkan tradisi yang hingga masa kini diyakini bahwa panjat pinang
memberikan hiburan sekaligus menonjolkan sisi perjuangan.
Bila demikian, ini berarti
masyarakat pribumi masa itu tidak memandang panjat pinang ini sebagai
penjajahan, melainkan sebuah perjuangan untuk mempertahankan hidup. Bisa jadi
masyarakat pribumi masa lalu menggunakan filsafat jawa nrimo, bahwa segala sesuatu sudah ada yang mengatur maka masyarakat
selalu merasa bersyukur dan memandangnya dari sisi positif bahwa panjat pinang
adalah simbol perjuangan untuk bertahan hidup.
Lantas, masyarakat yang katanya
sudah sangat paham sejarah panjat pinang – yang hingga kini masih dendam pada
sejarah karena dianggap lelucon bagi orang-orang Belanda – bukankah mereka
belum move on dari sejarah? Sebab
selalu ada sisi positif yang bisa diambil dari kegiatan negatif sekalipun. Buktinya,
selama perayaan kemerdekaan, tradisi panjat pinang selalu ada hingga masa kini.
Kebanyakan masyarakat menganggap tradisi ini sebagai hiburan yang dapat
menghilangkan rasa penat saat menontonnya.
Perbedaan sudut pandang dari
berbagai pihak yang pro dan kontra adalah wujud bahwa di Indonesia banyak
sekali perbedaan. Meskipun berbeda, ingatlah bahwa kita tetap satu jua. Kita
adalah Indonesia yang satu dan teguh.
Lalu, Bagaimana dengan Sahabat
Puan? Termasuk yang pro atau yang kontra? Meski berbeda pendapat, kita harus
selalu rukun ya! Merdeka. (RFH)
NB: tulisan ini pernah dimuat di puan.co tanggal 19 Agustus 2017. Sila Klik http://puan.co/2017/08/tradisi-panjat-pinang-merayakan-kemerdekaan-atau-melecehkan-kemanusiaan/
Komentar
Posting Komentar