Judul Terjemahan :
Daisy Manis
Judul Asli :
Daisy Miller
Penulis :
Henry James
Penerjemah :
Sapardi Djoko Damono
Penerbit :
KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Agustus 2016
Tebal Halaman : 219 halaman
ISBN : 591601250
Novel Daisy Manis bercerita tentang kisah gadis muda Amerika yang cantik
bak puteri bangsawan, kaya, polos, tetapi sia-sia dalam menghadapi keangkuhan
sosial bangsanya di Eropa. Ia sangat lincah dalam bergaul, semaunya sendiri,
tahu batas, tetapi hancur menjadi bahan pergunjingan, hanya karena ia kurang
menghormati tata cara dan sopan-santun yang telah menjadi adat setempat.
Kisah dalam novel ini dibuka
dengan bertemunya pemuda asal Amerika – Winterbourne – dan bocah laki-laki berumur sembilan tahun – Randolph
Miller – di kota kecil bernama Vevey, Swiss. Randolph Miller ternyata adalah adik kandung
dari Daisy Miller yang memiliki nama asli
Annie P. Miller. Pertemuan yang
tak direncanakan ini membuat Daisy dan Winterbourne berbincang-bincang di
sebuah kursi. Menurut adat Amerika yang juga berlaku di Eropa, lelaki muda
tidak akan berbicara bebas kepada wanita yang belum menikah, kecuali dengan
syarat-syarat tertentu. Namun, Daisy tidak memedulikan hal tersebut.
Mereka lalu membuat janji
mengunjungi Puri Chillon. Winterbourne juga berjanji akan memperkenalkan Daisy
ke bibinya yang bernama Ny. Costello – seorang janda kaya raya dan juga sangat
selektif dalam bergaul. Setelah mendengar cerita dari kemenakannya, Ny.
Costello menolak untuk dipertemukan dengan Daisy. Menurutnya, Daisy adalah
perempuan Amerika yang tak berbudaya karena ia sering bergaul dengan banyak
teman lelaki yang pada zaman itu dianggap sangatlah tabu dan melanggar adat.
Meskipun Daisy adalah keluarga
kaya yang tinggal dari hotel ke hotel di
beberapa negara di Eropa, tetapi keluarganya (ibunya, adiknya, dan
pesuruhnya) dijauhi oleh masyarakat sekitar. Mereka dicap sebagai masyarakat
kelas rendah yang tidak lagi menjunjung tinggi adat-istiadat. Sebab, keluarga
Daisy memperlakukan Eugenio – pesuruhnya – layaknya sebuah keluarga.
Walaupun hanya pesuruh, Eugenio
selalu tampil rapi memakai jas yang bisa dikata pada zaman dahulu adalah
pakaian yang mewah. Selain itu, keluarga Daisy selalu makan bersama dengan
Eugenio dalam satu meja. Sementara menurut Ny. Costello yang selalu merasa
dirinya berada dalam tatanan sosial kelas tinggi sangat menjaga jarak kepada
siapa pun. Takpeduli ia kaya raya atau tidak. Baginya seorang pesuruh
seharusnya diperlakukan sebagai pesuruh. Hal ini menunjukkan bahwa feodalisme
masih berkembang pesat di era itu. Keunikan cerita inilah yang kemudian menjadi
konflik antarmereka. Ny. Costello yang kental dengan keangkuhannya dan keluarga
Daisy yang humanis – yang menjunjung
tinggi sisi kemanusiaan.
Yang menjadi pembeda novel ini
dengan novel-novel Indonesia, yakni terdapat beberapa halaman yang paragrafnya
bernafas panjang. Lebih dari sepuluh halaman yang tiap halamannya hanya terdiri
satu paragraf saja. tentu saja ini menjadi kenikmatan tersendiri bagi pembaca
untuk berkonsentrasi menyelami dunia Henry James.
Winterbourne yang sangat tertarik
kepada Daisy yang ramah, ketika itu mengunjungi Daisy sekeluarga yang pindah ke
sebuah hotel di Roma, Italia. Bukan hanya di Vevey Swiss, di kota ini ternyata
Daisy juga menjadi pergunjingan di tengah-tengah masyarakat. Ia memiliki teman
karib lelaki tampan asli Italia bertubuh kecil – Giovanelli. Giovanelli
bukanlah seorang yang kaya, tetapi Daisy mau bersahabat karib dengannya. Sebenarnya,
Ny. Miller – Ibu Daisy – tak pernah menyetujui Daisy bepergian dengan lelaki
mana pun. Namun, Daisy yang ramah, menawan, dan terbuka terhadap siapa pun
merasa membutuhkan seorang teman tanpa peduli apakah ia kaya atau tidak. Saat
Winterbourne mengetahui Daisy dekat dengan Giovanelli, ia terbakar cemburu.
Apalagi menurutnya, lelaki rendahan dalam tatanan sosial tidaklah setara
dengannya yang merupakan lelaki terhormat. Inilah krtitik sosial yang
sebenarnya ingin diutarakan oleh James.
Selain pergolakan antara adat dan
keterbukaan keluarga Daisy, pembaca juga akan diajak berwisata sejarah. Sebut
saja Puri Chillon di Swiss – yang kaya akan peninggalan feodal, juga Colosseum
di Roma, Italia. Sayang, kemegahan dan keindahannya tidak dijelaskan secara
detail oleh pengarang. Selain itu, terjemahan bahasanya terlalu formal dan kaku.
Kata You yang diterjemahkan menjadi Anda terkesan memberi jarak. Padahal
obrolan berlangsung antara laki-laki dan perempuan dalam suasana santai – bukan
formal. Semestinya penerjemah barangkali bisa menggunakan diksi kamu/kau supaya suasana akrab
antarmereka lebih hidup. Bila saja pembaca sudah membaca novel Daisy Miller dalam edisi asli bahasa
Inggris, pembaca akan merasakan sendiri perbedaannya.
Bila berbicara masalah pergolakan
adat, saya jadi teringat novel-novel Indonesia
angkatan Balai Pustaka (1920-an) yang sangat banyak membicarakan adat
dalam banyak kisah. Sebut saja kisah Siti
Nurbaya (Marah Rusli, 1922), Darah
Muda (Adi Negoro, 1927), Rusmala Dewi
(S. Hardjo Soemarto, 1934) yang
mengkritik pola pikir masyarakat kala itu yang sangat konservatif, yakni
masalah perjodohan/kawin paksa. Secara tematik, yang diangkat dalam novel-novel
Amerika dan Indonesia relatif sama. Bisa disimpulkan, permasalahan adat dan
tradisi adalah isu dominan yang melanda kebudayaan global saat itu.
Tertarik untuk membacanya? Atau
masih tinggal diam? Segala pilihan ada ditangan Anda.
Rini Febriani Hauri
Tulisan ini dimuat di puan.co tepat di hari kemerdekaan 2017. Sila klik http://puan.co/2017/08/ketika-modernitas-datang-dan-tradisi-belum-ditinggalkan/
Komentar
Posting Komentar