Membicarakan kelemahan dan kelebihan sastra cyber bukanlah hal baru lagi bagi
dunia kepenulisan sastra. Bahkan bisa dibilang basi. Sebab hal tersebut telah
lama menjadi perbincangan hangat para sastrawan
maupun awak media - sejak hadirnya sastra cyber itu sendiri.
Anita Lindawati menyatakan momentum awal berkembangnya sastra cyber di
Indonesia, ketika buku yang cukup menghebohkan dunia kesusateraan Indonesia
diluncurkan oleh Yayasan Multimedia Sastra berjudul Graffiti Gratitude. Rabu, 9 Mei 2001 lalu. Sejak saat itu, melalui situs www.cybersastra.net,
beragam blog, milis dan situs pertemanan, sastra cyber semakin
berkembang dan mendapat tempatnya hampir di semua kalangan, bahkan berhasil
membentuk jaringan antar sastrawan di seluruh tanah air.
Berangkat dari hal tersebut belumlah basi - bila kita sedikit
memperbicangkan situs web www.angsoduo.net
yang dua bulan lalu melakukan relaunching di Taman Budaya Jambi dengan slogan
’anti sampah bukan tong sastra’. Situs tersebut tak lain merupakan salah
satu media sastra on line yang berupaya menghidupkan kembali cyber
sastra yang selama ini mati suri di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Selain
itu juga - memantau perkembangan penulis muda berbakat di Jambi.
Membaca essai karya Deindra Daya Islamil yang terbit di rubik
horison koran Jambi Independent per tanggal 06 Maret 2011 lalu – menggelitik
hati saya untuk melahirkan tulisan ini. Di dalam essainya Deindra mengajukan
sebuah pertanyaan dan beberapa pernyataan - yang mungkin selama ini telah
menjadi sesosok momok yang selalu menari bahkan mungkin menghantui jalan
pikirannya.
Pertanyaan itu adalah *”Siapakah yang dapat memberikan jawaban apa
bedanya sastra cyber dengan tong sastra?” Dan Deindra juga menyatakan *”Terlebih lagi
dalam mempublikasikan tulisan-tulisan di dalam sastra cyber, sensor dan peranan
dewan redaksinya sama sekali tidak ada batasan. Walhasil, tulisan tersebut
terkadang menjadi tulisan yang tak lazim
jika kudu ditinjau dari sastra itu sendiri dan kualitas sastra pada
mestinya.”
Baiklah, saya akan memberikan
tanggapan terhadap pertanyaan dan pernyataan tersebut. Dunia kepenulisan sastra cyber bukan hanya
terpaut pada tulisan yang memang sengaja di publikasikan di note situs jejaring
sosial atau sebatas pada blog pribadi. Yang hanya untuk koleksi pribadi semata.
Meski – isi di dalamnya tergantung dari pembawaan diri si penulis. Apakah karyanya
hanya sebatas sampah ?Ataukah berkualitas ? Semuanya kembali kepada siapa yang
mengapresiasinya. Bukankah semua orang bebas mengapresiasi hasil karyanya di
cyber sastra?
Hemat saya, cyber sastra merupakan karya sastra yang ada di jagat internet.
Namun masalah keterbacaan sastra cyber tidak berangkat dari sana saja. Sastra
cyber tentunya memiliki peranan penting - yang ibarat vitamin dan pil penyegar
bagi penikmat dan penggiat sastra di negri merah putih ini. Hal ini dapat
dilihat dari situs web sastra yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah yang jelas
memiliki batasan sensor.
Tak banyak berbeda dengan rubrik sastra yang acap kali hadir tiap minggu di
media cetak. Untuk lolos terbit di media
cetak ada beberapa tahapan yang harus
dilewati terlebih dahulu. Sebab mereka
memiliki dewan redaktur dengan selera berbeda pada tiapnya. Hal demikian
berlaku pula dalam situs web sastra berkualitas yang ada di tanah air. Meski
perbedaan hanya terpaut pada media, keduanya memberikan sumbangsih sastra ke
kancah yang lebih luas.
Contoh konkret website www.angsoduo.net.
Di dalamnya terdapat tiga redaktur sekaligus - penyeleksi layak tidaknya
tulisan tersebut muncul di laman situs web sastra Jambi yang lahir kembali pada
11-01-2011. Masing-masing bertugas sesuai bidangnya. Ratna Dewi – redaktur
Essai, M.husairi (Ce’ Gu) – redaktur puisi dan Nurul Fahmi – redaktur cerpen.
Situs cyber sastra lain yang serupa dapat dilihat pada www.tamanbudayajambi, www.kompas.com, www.Fordisastra.com, www.Rumahpuitika.com, www.Situseni.com,
www.Poetikaonline.com , www.kopisastra.org, dan masih banyak
lagi.
Nurul Fahmi, salah seorang redaktur cerpen dari situs www.angsoduo.net pernah mengutarakan
Slogan ’ tong sastra’ diciptakan agar memberikan kesan mendalam kepada
seluruh penggiat dan penikmat sastra bahwasanya karya sastra yang akan dimuat -
hanyalah tulisan berbibit-bobot baik ditilik dari segi kualitas, mutu maupun
kuantitasnya. Jadi, menurut saya karya sastra yang lolos seleksi bukanlah *karya
sastra asal jadi karena alasan keuniversalan itu sendiri. Mungkin, kita
akan banyak menemui tulisan asal jadi tersebut di dalam blog milik pribadi yang
memang sama sekali tak ada campur tangan dewan redaktur.
Kemudian, Deindra memberikan sedikit sumbangsih pikiran yang antara lain *”Opsi
yang paling bijak untuk pengembangan sastra adalah menggabungkan peranan
internet dan meningkatkan mutu tulisan dengan banyak melakukan studi
kepenulisan di internet.”
Bukankah belajar bersastra bisa dilakukan dimana saja - tidak sebatas dari
internet belaka. Kita bisa otodidak membaca buku mengenai kepenulisan sastra di
perpustakaan, belajar dari guru Bahasa dan Sastra Indonesia, belajar langsung
dari orang yang ahli menulis sastra atau studi langsung di civitas akademika
berbau sastra.
Dari semua yang telah ditulis, Aku hanya mencintai
apa yang ditulis seseorang dengan darahnya. Menulislah dengan darah dan Kau
akan dapati bahwa darah itu adalah roh. Demikian Sabda Zarathustra (Nietzsche,
2010 : 90)
***
Tulisan saya ini
dimuat di koran jambi Independent pertanggal 20 Maret 2011. bentuk fisiknya tidak ditemukan.
Komentar
Posting Komentar