Rumah Masa Lalu
Semenjak
bapak pergi dengan perempuan lain. Aku semakin tahu artinya luka. Luka itu tak
hanya mencengkeram pusat hatiku. Tapi berdiam diri di benak ibu. Bahkan
diam-diam menempel di dinding rumah masa
lalu kami. Rumah yang kami yakini memiliki tempat bagi kepergian dan
kepulangan. Pun akhirnya bapak. Ia pergi tanpa pamit. Tanpa sepotong surat yang
biasa ia letakkan di meja rias. Tak ada lagi jemari yang bisa digamit. Ibu
hanya bisa komat-kamit. Katanya tak lengkap sudah perannya sebagai perempuan
Jawa yang menjunjung tinggi falsafah, perempuan itu kanca wingking ‘teman
belakang’ yang tekun, tabah, mengurusi dapur, sumur, dan kasur. Dalam lamunnya,
kadang kudengar ibu bergumam sendiri di sudut ruang tamu, ”Bapak, Ibu ini
istrimu yang setia. Swarga nunut, nĕraka katut”, ‘ke surga ikut, ke neraka pun mau’. Aku hanya bisa diam.
Rumah beserta segala perabotnya habis kami jual. Kami sekeluarga meninggalkan
Surakarta. Menuju Negeri Sailun Salimbai. Salah satu kabupaten di Bumi Sepucuk
Jambi Sembilan Lurah. Dengan terpaksa, aku harus meninggalkan Patra, kekasih
pertamaku. Di suatu sore di padang ilalang. Di bawah remang lampu jalan yang
lebih menyerupai kunang-kunang, Aku mengucap selamat tinggal. Ada sesak di
dalam dada. Dan kubiarkan Patra berlari mengejar bayangan langkah kakinya
sendiri.
Aku dan Bara dalam Kenangan
Sepeninggal
Patra. Aku memasuki fase baru. Putih Abu-abu. Perlahan, Aku semakin lupa dengan
luka lalu. Suatu pagi yang sunyi. Kutemukan lelaki itu. Bara namanya. Ia ketua
OSIS di sekolahku. Ketika masa orientasi sekolah berlangsung, diam-diam aku
menaruh hati. Bukan hanya aku, tetapi juga sebagian besar siswi baru. Entah
daya tarik apa yang aku miliki. Bara memilihku. Barangkali karena tata krama
yang selalu diajarkan Si Mbah. Si Mbah pernah bilang, ”Perempuan Jawa
harus memiliki tata krama dan tutur sapa yang baik dan bahasa tubuh yang
anggun.” Ya, gerak tubuh atau bahasa tubuh. Itu merupakan salah satu dari
sekian banyak konsep perempuan Jawa yang selalu – hampir setiap hari – Si Mbah
ajarkan kepada Ibuku, kepadaku. Semenjak menjadi perempuan Bara, aku mendadak
populer di sekolah.
Oh...Bara
Satu
tahun menjalin kisah. Bara bermain api dengan perempuan lain. Padahal, aku
telah memberikan segenap hati dan ciuman pertamaku untuknya. Betapa kalutnya
aku saat itu. Sebab selama ini, tak pernah sedikit pun, sekali pun aku
berkhianat padanya. Sungguh, segala rasaku telah kubuang jauh-jauh. Hanya
kobaran api yang begitu dahsyat yang selama ini tertanam di tubuhku. Menyala
terang dalam ingatanku. Semenjak itu, lelaki bagiku hanyalah permainan.
Lima Lelaki Berakhiran ’i’
Dua kali
memiliki kekasih tak memiliki huruf ’i’. Dua kali pula kecewaku mengendap,
menyelinap di hatiku dan di hidupku. Jelang kenaikan menuju tiga SMA, tak
tanggung-tanggung, kumiliki lima kekasih sekaligus – yang namanya berakhiran
huruf ’i’ – Bumi, Didi, Pagi, Suni, dan Hari. Bumi adalah ketua
OSIS terpilih untuk tahun ajaran baru. Aku bukan ingin menjadi terkenal ketika
menjadi kekasihnya. Hanya ingin dikenal. Itu saja. Sedang keempat lainnya
bersekolah di SMA berbeda. Dari kelimanya, tak ada yang benar-benar kucintai.
Selama itu pula tak kubiarkan mereka menggenggam jemariku, apa lagi
menyentuhku. Sedikit pun dan apa pun itu. Tak mudah memang memiliki banyak
kekasih. Membagi waktu. Membagi hati. Juga pikiran. Semua itu terkadang
melelahkan. Namun, sering kali membuatku tertawa sesak. Sebab, aku pemeran
utama permainan ini. Apa yang kucari dari kesemua ini? Aku pun tak tahu.
Barangkali semacam pemberontakan kekecewaan atas sikap Bara. Aku hanya sedang
mencari jati diri. Yang selama ini sembunyi. Lama kian lama muncul rasa bosan
yang mendesak. Kuakhiri semuanya begitu saja. Hari ini putus cinta. Esok hari
kudapatkan banyak lelaki.
Pesan Ibu di Rumah Panggung
Delapan
kali merajut asmara. Ada beberapa pelajaran penting yang kudapat. Bahwasanya
cinta yang tulus itu apa adanya. Bukan ada apanya. Selama ini, cinta ada
apanyalah yang selalu kupegang – kudekap – bersama kekecewaan. Masih kuingat
jelas. Di dapur rumah panggung itu ketika aku membantu Ibu memasak. Kulihat,
Ibu mulai melupakan masa lalunya yang menyakitkan. Meski balum lama tinggal di
negeri Melayu yang kental budaya. Ibu mulai terbiasa mengenakan tengkuluk (kain
batik yang dililitkan di kepala) dan kain sarung batik Jambi bercorak motif
angso duo di pinggangnya sebagai pengganti rok. Ibu berkata, ”Anakku, berapa
pun teman dekat lelakimu. Kuharap Kau
bisa menjaga keperempuanananmu. Ibu takut dengan pergaulan zaman sekarang. Jangan
kecewakan Ibu! Cukup aku saja yang dikecewakan bapakmu. Kita ini orang Jawa,
Ndhuk.” Aku hanya menganggukan kepala, meninggalkan pisau dan irisan
bawang, serta langsung memeluk ibu. Guratan-guratan di wajah ibu tampak jelas.
Ibu sudah semakin menua meski rambutnya masih saja hitam. Aku tak mau
kehilangan ibu. Aku tak akan mengecawakan ibu. Apalagi membuat ibu menangis.
Itu saja. Aku cukup paham dengan pesan ibu. Aku bergumam di dalam hati ”Aku
tak mau dikendalikan oleh cinta. Cintalah yang akan kukendalikan.” Itu sumpahku.
Lelaki Koleksi
Awal
kuliah. Aku menikmati status baruku menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra di
universitas negeri ternama di kotaku. Mulai dari ospek, aku telah banyak
dilirik kakak kelasku. Tak tahu mengapa. Mungkin karena mata elang yang
kumiliki, hidung mancung, dan rambut ikal sepunggung. Selang waktu tak berapa
lama. Aku memiliki empat kekasih beda fakultas. Dua diantaranya aktivis kampus
yang memegang peranan penting roda pemerintahan di kampus. Kesemuanya tampan
dan kaya. Seperti biasa.
Aku
selalu kebingungan mengatur jadwal kencan. Kurasa, aku memiliki bakat di bidang
itu. Mungkinkah ini gen turunan ayah? Aku tidak menyalahkan sesiapa. Aku memang
suka berpetualang. Yang penting memegang erat pesan ibu.
Kupegang
Erat Pesan Ibu
Lama
semakin lama, kebosanan kembali merengkuhku. Memelukku diam-diam. Secara
materi, aku jelas bahagia. Bahagia berkali-kali. Apa pun yang kumau pasti
mereka berikan. Timbal baliknya, Aku hanya memberikan ribuan gombal. Tak ada
ciuman. Juga pelukan. Bergandengan tangan pun aku kerap berpikir puluhan kali.
Lagipula, tak ada yang bisa dibanggakan dari mereka selain wajah tampan dan
harta milik orang tuanya itu. Atau dua lelaki aktivis itu yang punya kedekatan
dengan partai politik yang sedang di bawah kuasa keluarganya. Kurasa kalau tak
ada itu, mereka tak akan berani melakukan aksi-aksi berani. Dua semester
berjalan. Cinta segi empat yang kujalani pupus. Ada yang mengadu. Aku didatangi
keempatnya. Keempat lelakiku. Di pagi hari yang sepi di depan fakultasku.
Mereka mencaci-maki. Memberikan hujatan-hujatan yang tak selayaknya dikatakan
kepada seorang perempuan. Sumpah serapah atau apalah namanya. Aku berusaha
menenangkan. Mengajaknya berbicara dengan kepala dingin dan tutur kata yang
sopan. Mereka semua menginginkan sebuah akhir. Aku menyetujuinya.
Kekasih Tersisih
Tahun
baru kekasih baru. Itulah aku. Ketika memasuki semester tiga hingga akhir
semester empat, Aku merajut asmara dengan lelaki yang aktif berkesenian:
pelukis, penyair, dan pemain teater. Pada fase inilah kualami sebuah metamorfosis.
Ketiganya memiliki pribadi yang unik. Berbanding terbalik dengan kekasihku
terdahulu. Sang pelukis dengan sketsa wajahku yang selalu ia sodorkan hampir
tiap minggu. Sang penyair, setiap pagi tak pernah absen mengirimiku kata-kata
pujangga. Sang pemain teater, ketika menampilkan peran monolog selalu
menyelipkan tokoh yang sama dengan namaku. Aku menyukai mereka dengan caranya
masing-masing. Dengan pakaian yang tak begitu rapi. Rambut kurang terawat.
Kutemukan sebuah kesederhanaan. Kesederhanaan yang terkadang menjelma kemewahan
di mataku. Hanya di mataku. Hingga saat itu. Masih kujaga rapi pesan ibu.
Di Malam
Tembang Sastra
Suatu
ketika. Di malam Tembang Sastra yang setiap tahun digelar fakultasku. Semua
seniman berduyun-duyun datang. Betapa terkejutnya aku melihat ketiga lelakiku
bercengkrama bersama. Aku tak bisa sembunyi. Segala rasa berkecamuk dalam dada.
Begemuruh seperti segerombolan pasukan infanteri di medan laga. Seusai acara,
Aku didatangi ketiganya. Ketiga kekasih senimanku. Aku semakin bingung.
Terpojokkan. Betapa terkejutnya Aku ketika sang penyair berkata,”Bukankah
hidup adalah pilihan, Nona? Kami ingin kau memilih salah satu dari kami.”Sang pelukis dan pemain teater menatap
tajam ke arahku. Seolah mereka meminta jawaban untuk memilihnya. Aku
membisu beberapa detik. Memutar otak. Ingin sekali berlari. Namun, seperti ada
ribuan ton batu di punggung dan juga kakiku. ”Nona, Kami membutuhkan
Jawabanmu”, ucap sang pelukis. Aku masih diam. Sungguh, aku tak ingin
menyakiti sesiapa. Akhirnya, keluar juga lima patah kata dari mulutku. ”Aku
tidak memilih sesiapa pun. Maaf!” Aku berjalan lirih. Meninggalkan mereka.
Seperti hujan yang cemas ketika meninggalkan awan yang telah dijadikannya
rumah.
Duri itu Tumbuh dalam
Dagingku
Memasuki
semester lima hingga enam. Aku semakin disibukkan beberapa mata kuliah yang
sangat menguras otak. Tak ada lelaki maka tak ada hiburan. Sulit bagiku
menjalin cinta dengan satu lelaki saja. Entahlah. Barangkali kobaran api atas
penghianatan Bara dan penghianatan Bapak di masa silam masih terus hidup dalam
tubuhku. ”Bara, Aku masih merasakan sakit itu. Mengapa Kau harus
menghianatiku?”Selalu saja pertanyaan itu yang bersemayam di pikirku. Juga
penghianatan bapak terhadap ibu. Mengapa semua ini harus terjadi hanya padaku?
Tiba-tiba bayangan Si Mbah berseliweran bagai laron di depanku. Teringat jelas
ketika ia berkata ”Kalau nanti kamu sudah menjadi seorang isteri. Kamu akan
merasakan isuk dadi tèklèk, wĕngi lèmèk”, ‘Pagi menjadi sandal jepit seperti pembantu dan malam menjadi selimut’.
Serendah itukah derajat perempuan Jawa? Menjadi pijakan bagi kaki
lelaki yang berkuasa. Seingatku, seluruh keluargaku memang seperti itu. Masih
belum lupa aku ketika ibu dimadu bapak. Ibu masih bisa terima. Menjalani hidup
apa adanya. Berteman dengan konsep-konsep kuno. Meskipun pada akhirnya bapak
lebih memilih hidup bersama perempuan madunya. Perempuan yang sampai kapan pun
tak akan kupanggil ibu. Aku tahu tak ada perempuan yang mau dimadu. Bagiku,
wanita atau pun laki-laki memiliki derajat yang sama. Yang membedakan hanyalah
kadar keimanan kita di hadapan Tuhan. Lelaki memang kepala rumah tangga. Tapi
bukan penguasa. Selama ini, lelaki bagiku tak ubahnya kelinci percobaan. Aku
tak peduli bila orang lain menentang jalan pikiranku. Masih terlalu sakit
penghianatan itu.
Lima
Kekasih dan Sumpah Serapah
Aku
kembali memiliki lima kekasih. Dua diantaranya ketua unit kegiatan mahasiswa.
Satu Dosen Fakultas Psikologi yang berstatus lajang. Dua lainnya, teman satu
organisasi di BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas Sastra dan seorang
fotografer. Asik juga bertualang cinta. Asal jangan memberikan seluruh hatimu.
Itu saja. Karena bila itu terjadi, kau akan mati dalam sunyi, terbakar panasnya
bara api. Suatu ketika sekelompok mahasiswi psikologi mendatangiku.
Mengata-ngataiku dengan ucapan kotor. Katanya,
Aku merebut Mas Pak (Sapaan dosen lajang kekasihku itu). Aku pergi
begitu saja. Tak menghiraukan. Esoknya sengaja kugandeng tangan Mas Pak di
hadapan mereka. Mereka semakin berang. Dua hari berikutnya kuakhiri hubunganku
dengan Mas Pak. Seminggu berlalu. Kekasihku, salah seorang ketua UKM (Unit
Kegiatan Mahasiswa) di bidang seni mengutarakan keinginannya di sebuah taman
kamboja. Katanya, ia tergoda oleh komelakan tubuhku. Dengan lancang ia
mengutarakan keinginannya untuk berkencan di sebuah hotel. Aku naik darah dan
mendaratkan sebuah tamparan keras di pipinya.
Sial !!!
Esoknya.
Enam orang teman sekelas mengerumuniku. Mereka bilang, dua orang dari mereka
adalah kekasih dari kekasihku – si i fotografer dan si ketua UKM satunya lagi
– Aku hanya bisa diam. Lagi-lagi Aku
ketiban sial karena lelaki. Tak kugubris semua ucapan sampah yang keluar dari
mulut mereka. Sebab ucapan tak selalu harus dibalas dengan ucapan. Kucari waktu
yang tepat mengajak jalan satu per satu kekasihku yang juga kekasih mereka di
hadapan enam orang tadi. Tiga hari kemudian kuucap selamat tinggal. Enam orang
itu mendatangiku kembali. Kali ini kuberanikan diri berkata-kata. Dengan sengit
kubilang, ”Aku tak pernah merebut. Mereka yang mengejarku.” Enam orang
itu diam. Tak tahu mengapa. Aku merasa di atas angin. Setelah kubuang sayang.
Kekasihku tersisa satu. Teman satu organisasi di BEM Fakultas Sastra.
Kuputuskan cintanya begitu saja. Kujelaskan padanya bahwa aku pernah memiliki
kekasih lain di belakangnya. Ia bilang tak peduli. Ia bisa menerimaku apa
adanya. Ia memang rela berkorban untukku. Tapi ia terlalu baik. ”Aku bukan
wanita yang pantas untukmu. Maaf!”
Imam
yang Tersembunyi
Sembilan
belas kali menjalin cinta belumlah cukup bagiku. Seiring berputarnya roda
kehidupan. Ketika tengah sibuk mengerjakan skripsi, aku memiliki dua kekasih
istimewa. Seorang qori yang juga ketua LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di
Universitas Islam dan satu lagi seorang anak kyai yang santun perangainya. Aku
mengagumi keduanya. Di dalam benakku. Kelak, aku ingin memiliki imam seperti
mereka. Dengan keberadaan mereka, kuharap aku bisa memperbaiki sifat dan imanku
ke arah yang lebih baik. Tenang sekali jiwaku saat menjadi makmum si qori.
Apalagi saat ia mendaras ayat suci Alquran. Tak kalah, anak Pak Kyai juga
memberiku kenyamanan dan ketenangan luar biasa. Anak Pak Kyai yang santun itu
kerap memberiku nasihat dan ceramah agama di masjid yang tak jauh dari rumahku.
Hingga suatu ketika. Pada saat lomba MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran) tingkat
kabupaten, aku menemani kekasihku si qori sebagai peserta lomba. Sedikit pun ia
tak mau menyentuh jemariku. Katanya ”Bukan Muhrim”. Dengan berani,
sengaja kugamit jemarinya itu. Ia tersenyum malu-malu. Aku terlihat agresif
kala itu. Kami bejalan di bawah sesabit cahaya rembulan. Tak disangka, Aku
bertemu anak Pak Kyiai beserta keluarganya. Ternyata kekasihku si qori masih
memiliki hubungan darah dengan anak Pak Kiayi. Mereka adalah saudara sepupu.
Permainanku berakhir sampai di situ.
Lelaki Terakhir
Namaku
Nimas Ayu. Biasa dipanggil Nimas. Aku bekerja paruh waktu sebagai editor di salah satu penerbit di
Pulau Jawa. Selesai kuliah, Jambi hanyalah sebuah kenangan. Aku kini hanya
memiliki seorang kekasih saja. Sulit memang. Tapi inilah hidup yang harus
kujalani. Dia seniman: pembuat patung. Tepat pada usia dua puluh dua ini, aku
telah menjalani sebuah perjalanan panjang bersama dua puluh dua lelaki. Aku
masih menjaga dengan baik pesan ibu. Akan selalu kujaga kesucianku, mahkota
kehormatan dari seorang wanita. Belum ada orang yang pantas untuk menghapus
jejak bibir Bara di bibirku. Rasa kecewaku terhadap pengkhianatan Bara dan
pengkhianatan Bapak belum jua pudar. Perjalananku masih panjang. Masih akan ada
sebelas lelaki lagi untuk menggenapkan di angka tiga puluh tiga. Sepuluh lelaki
untuk kelinci percobaan yang menemani lika-liku hariku. Satu terakhir untuk
lelaki terakhir yang kelak menjadi suami terakhir dan kekasih paling akhir. Aku
adalah anak ketiga dari kedua abangku. Angka tiga adalah simbol kekuatan,
kestabilan, dan yang sering menempatkanku pada posisi netral. Simbol angka tiga
adalah pencerminan dari diriku. Aku akan menghentikan perjalanan ini hingga
suatu saat nanti aku menemukan lelaki terakhir. Lelaki ke tiga puluh tiga itu.
Rumah
Masa Depan
Aku
duduk di tepi danau. Cemas demi cemas kututup album di pangkuanku ini. ”Bukankah kenangan itu indah?” tanya
lelaki yang sedari tadi duduk bersebelah tangan denganku. ”Benar, indah sekali” tuturku kepadanya.
Rini Febriani Hauri
Jerambah
Bolong, Januari 2011
***
cerpen ini pernah dimuat di koran Jambi Independent 2011
Komentar
Posting Komentar