Dalam
tugas kali ini, saya akan mencoba untuk merefleksikan karya terkenal
sang filsuf Friedrich Nietzche “Will To Power” dengan kehidupan saya
pribadi. Pertama-tama kita harus mengerti apa yang dimaksud Nietzhche
dalam teori “Will To Power” . Nietzche memperkirakan bahwa setiap
manusia yang hidup di dunia selalu berusaha untuk memaksakan keinginan
mereka pada orang lain. Setiap tindakan sekecil apapun tindakan itu
bermuara dari keinginan terdalam seorang manusia untuk membuat manusia
lain tunduk dibawah kekuasaannya.
Dengan teori “Will To Power” ini
seolah – olah setiap manusia adalah mahluk egois yang mementingkan
dirinya sendiri dan sejatinya pula tidak ada tindakan yang murni
altruistik. Namun perlu diingat, bahwa menurut Nietzche ruang lingkup
“Will To Power” ini tidak terbatas hanya pada manusia saja, melainkan
merupakan realitas yang mendasari seluruh pergerakan jagat raya. Gerakan
seperti pertumbuhan, mempertahankan diri, dan upaya peningkatan karir
diri saya hanyalah sedikit contoh tentang perwujudan “Will To Power”.
“Will To Power” dalam pandangan Nietzche adalah kondisi dimana mahluk
menegaskan eksistensi mereka dengan mengikuti instink untuk mendominasi
sesamanya.
Terlebih lagi ada kalanya kesengsaraan timbul dari
manifestasi “Will To Power” kesengsaraan yang dialami mahluk itu sendiri
atau mahluk yang menjadi korbannya, namun kesengsaraan itu sendiri
bukanlah bagian dari kejahatan melainkan bagian penting dari keberadaan
sebuah mahluk hidup. Disini Nietzsche seperti mendukung penaklukan oleh
manusia kepada sesamanya atas nama “Will To Power”. Walaupun begitu
“Will To Power” menurut Nietzhce bukanlah sekadar kemauan untuk
menguasai. Melainkan semacam semangat meluap-luap untuk mengeluarkan
energi dari dalam diri . Setiap pribadi memiliki energi meluap ini.
Selanjutnya timbul pertanyaan yang penting dan cukup mengganggu bagi saya. Jika memang benar “Will To Power” itu ada dalam setiap tindakan manusia dan menjadi daya dorong tindakannya sehari-hari. Apakah sebenarnya pengaruh Will To Power berbeda untuk tiap manusia?. Pertanyaan diatas mau tidak mau saya tanyakan karena sebelumnya saya telah melihat kenyataan disekeliling saya. Saya melihat disekeliling saya terdapat manusia yang berhasil dan manusia yang gagal. Untuk lebih mempersempit definisi keberhasilan dan kegagalan yang saya ingin sampaikan, maka yang disebut manusia berhasil adalah manusia berkelimpahan materi (kaya raya) sedangkan yang tidak berhasil adalah manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Jadi perlu diingat kondisi gagal disini tidak termasuk golongan rohaniwan yang memang sengaja hidup miskin walaupun mereka sebenarnya mempunyai “potentia” untuk kaya raya.
Selanjutnya timbul pertanyaan yang penting dan cukup mengganggu bagi saya. Jika memang benar “Will To Power” itu ada dalam setiap tindakan manusia dan menjadi daya dorong tindakannya sehari-hari. Apakah sebenarnya pengaruh Will To Power berbeda untuk tiap manusia?. Pertanyaan diatas mau tidak mau saya tanyakan karena sebelumnya saya telah melihat kenyataan disekeliling saya. Saya melihat disekeliling saya terdapat manusia yang berhasil dan manusia yang gagal. Untuk lebih mempersempit definisi keberhasilan dan kegagalan yang saya ingin sampaikan, maka yang disebut manusia berhasil adalah manusia berkelimpahan materi (kaya raya) sedangkan yang tidak berhasil adalah manusia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Jadi perlu diingat kondisi gagal disini tidak termasuk golongan rohaniwan yang memang sengaja hidup miskin walaupun mereka sebenarnya mempunyai “potentia” untuk kaya raya.
Situasi di dunia nyata
ini menciptakan pertanyaan lain di dalam diri saya : Apakah dalam diri
setiap manusia tingkatan atau kuat-tidaknya “Will To Power” berbeda –
beda?. Karena ada manusia yang berhasil dan ada manusia yang gagal. Dan
di dalam manusia yang gagal apakah kadar “Will To Power” memang
rendah?. Pertanyaan ini saya tanyakan sebagai bahan reflexi filosofis
karena terkait dengan diri saya juga. Diri saya yang berjuang dan
berpikir tiap hari, bagaimana karir dapat meningkat ditengah-tengah
keterbatasan diri , keterbatasan kecerdasan bawaan, bagaimana caranya
jadi seorang yang sukses ditengah segala kekurangan ini, dan jika saya
tidak berhasil dan gagal apakah saya berarti memiliki “Will To Power”
yang rendah. Dan pada akhirnya apakah Nietzche “Will To Power” mampu
memberikan jawaban atas kegelisahan saya? Kegelisahan saya yang ingin
bertahan hidup (self preservation) diatas ketakutan saya akan kegagalan.
Nietzche lebih lanjut menjelaskan bahwa “Will To Power” yang ada di dalam setiap manusia dikebiri kekuatannya oleh negara baik itu melalui bentuk pemerintahan demokrasi ataupun sosialisme. Peraturan yang dibuat oleh negara meredam kekuatan liar yang ada di dalam diri setiap manusia agar semua manusia penduduk negara tersebut mempunyai mentalitas kawanan dengan kata lain bergerak sesuai aturan dan hukum negara. Menurut Nietzche kondisi ini mampu menahan hasrat natural seseorang untuk terus “berjuang sampai puncak”. Pada akhirnya para individu yang mengikuti hasrat ini dicap sebagai kriminal dan dibuang dari masyarakat. Oleh sebab itu menurut Nietzche, orang – orang besar, dalam beberapa aspek merupakan kriminal. Mereka adalah individu yang cukup berani melakukan tindakan yang berseberangan dengan mentalitas kawanan. Contohnya adalah para pemimpin militer yang melakukan kudeta, atau konglomerat yang melakukan pelanggaran hukum untuk menang.
Sekali lagi, jika kita mengambil asumsi bahwa orang yang berhasil adalah orang yang kaya raya, dan orang yang gagal adalah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan atau termasuk dalam grup pengangguran. Maka dapat dibilang saya termasuk ke dalam grup ditengah-tengahnya. Masalahnya saya sendiri saat ini tidak hidup dibawah garis kemiskinan dan masih mempunyai pekerjaan, namun disaat yang sama saya juga bukan seorang kaya raya. Jadi apakah saya seorang yang gagal? bukan, seorang yang berhasil? juga bukan. Kondisi ini sungguh menyebabkan dilema. Namun yang jelas saat ini saya dapat menyimpulkan bahwa penyebab kegelisahan saya adalah “Will To Power” di dalam diri saya yang masih terus mencoba untuk bertumbuh ke atas, sebuah gerakan “upward mobility”, dan betapa terkadang “Will To Power” dalam diri saya diredam oleh mentalitas kawanan dan dimana rasa pengecut dalam diri menang atas rasa “Will To Power”. Akhir kata, salah satu keuntungan tentang pengetahuan “Will To Power” ini adalah kesadaran bahwa tiap manusia memiliki “Will To Power” namun manifestasinya di dunia nyata sangat tergantung dari terhambatnya rasa “Will To Power” itu sendiri oleh sifat pengecut dan ragu di dalam diri setiap insan manusia itu sendiri.
Nietzche lebih lanjut menjelaskan bahwa “Will To Power” yang ada di dalam setiap manusia dikebiri kekuatannya oleh negara baik itu melalui bentuk pemerintahan demokrasi ataupun sosialisme. Peraturan yang dibuat oleh negara meredam kekuatan liar yang ada di dalam diri setiap manusia agar semua manusia penduduk negara tersebut mempunyai mentalitas kawanan dengan kata lain bergerak sesuai aturan dan hukum negara. Menurut Nietzche kondisi ini mampu menahan hasrat natural seseorang untuk terus “berjuang sampai puncak”. Pada akhirnya para individu yang mengikuti hasrat ini dicap sebagai kriminal dan dibuang dari masyarakat. Oleh sebab itu menurut Nietzche, orang – orang besar, dalam beberapa aspek merupakan kriminal. Mereka adalah individu yang cukup berani melakukan tindakan yang berseberangan dengan mentalitas kawanan. Contohnya adalah para pemimpin militer yang melakukan kudeta, atau konglomerat yang melakukan pelanggaran hukum untuk menang.
Sekali lagi, jika kita mengambil asumsi bahwa orang yang berhasil adalah orang yang kaya raya, dan orang yang gagal adalah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan atau termasuk dalam grup pengangguran. Maka dapat dibilang saya termasuk ke dalam grup ditengah-tengahnya. Masalahnya saya sendiri saat ini tidak hidup dibawah garis kemiskinan dan masih mempunyai pekerjaan, namun disaat yang sama saya juga bukan seorang kaya raya. Jadi apakah saya seorang yang gagal? bukan, seorang yang berhasil? juga bukan. Kondisi ini sungguh menyebabkan dilema. Namun yang jelas saat ini saya dapat menyimpulkan bahwa penyebab kegelisahan saya adalah “Will To Power” di dalam diri saya yang masih terus mencoba untuk bertumbuh ke atas, sebuah gerakan “upward mobility”, dan betapa terkadang “Will To Power” dalam diri saya diredam oleh mentalitas kawanan dan dimana rasa pengecut dalam diri menang atas rasa “Will To Power”. Akhir kata, salah satu keuntungan tentang pengetahuan “Will To Power” ini adalah kesadaran bahwa tiap manusia memiliki “Will To Power” namun manifestasinya di dunia nyata sangat tergantung dari terhambatnya rasa “Will To Power” itu sendiri oleh sifat pengecut dan ragu di dalam diri setiap insan manusia itu sendiri.
NB: saya menemukan tulisan ini di catatan facebook saya tertanggan 21 Juli 2010.Selamat membaca.
Komentar
Posting Komentar