Akan kutelusuri sejarah kebudayaan Jambi sampai titik darah penghabisan.
Siapa yang tak
kenal Junaidi. T. Noor. Lelaki paruh
baya yang lahir di Tanjung Karang, 27 April 1947 ini dikenal sebagai budayawan
di provinsi Jambi. Ketertarikannya dalam mendalami dan menggali nilai-nilai sejarah
dan kebudayaan Jambi sudah lama mengakar bahkan mendarah daging di tubuhnya
meski guratan-guratan di wajahnya sudah mulai tampak. Bermula ketika dirinya
tengah memakai seragam putih abu-abu di SMA N 2 Jambi pada tahun 1965. Saat itu
beliau hanyalah seorang lelaki biasa yang sangat haus akan pengetahuan mengenai
cerita-cerita sejarah dan kebudayaan negri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
Nama kecil
beliau adalah Tajidin. Oleh neneknya ditukar menjadi Junaidi. Ayahnya bernama
Tajuddin Noor , seorang pensiunan TNI.
Jenjang pendidikannya dari Sekolah Dasar hingga D3 Perguruan Tinggi, ia
tamatkan di Jambi. S1 jurusan Pembangunan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP)
Jakarta. S2 bidang manajemen di LPMI Jakarta tahun 2001. Namun sungguh, tak
sedikitpun jurusan yang ia geluti itu berhubungan dengan hal yang sampai
sekarang ia cintai yakni sejarah kebudayaan provinsi Jambi.
Kembali
bernostalgia di masa-masa yang membuat beliau tercengang-cengang, ketika beliau
kritis mempertanyakan sejarah Jambi terhadap guru sejarahnya. Namun, perlahan
demi perlahan kekecewaan mulai mengendap di hatinya. Sebab, apa yang selama ini
ia idamkan tak ia temukan dalam pernyataan panjang guru sejarahnya itu. Bagi beliau, masih banyak
jalan menuju Roma untuk membedah dan menambal sulam pernik-pernik sejarah
Jambi.
Hal lain yang memacunya untuk terus mecari dan
menggali pundi-pundi sejarah Jambi timbul dari sebuah lagu yang dinyanyikan
oleh alm. Firdaus Khatab dengan judul “Orang
Kayo Hitam” tepatnya pada lirik yang berbunyi “namonyo agung dimano-mano, sampai Mataram orang ngenali”. Dari
situlah, beliau bertekad kuat mengumpulkan serpihan-serpihan referensi dari
berbagai buku sejarah Mataram yang berkaitan dengan Jambi dan disertai dengan
pengamatan lain yakni bertanya terhadap tuo tengganai yang tentunya dapat
dipercayai kebenarannya.
Beliau telah
menulis dan mencintai sastra sejak SMA. Ia pernah menjadi pengasuh sastra di
sebuah stasiun Radio Republik Indonesia Provinsi Jambi. Sejak keinginan dan
tekad kuat mengalir kokoh dalam nadinya, terlahirlah artikel-artikel kebudayaan
yang dipublikasikan pada surat kabar lokal : Jambi Independent, Jambi Ekspress,
Mediator, Sinar Jambi Baru dan Info Seni Budaya Jambi. Dari hasil penggalian
dan penelusuran jejak sejarah kebudayaan Jambi, Beliau telah menerbitkan empat
buku salah satunya berjudul Mencari Jejak Sangkala (2007) dan beberapa buku
lain hasil kolaborasi dengan Lembaga Adat Propinsi Jambi.
***
Dalam menjalani
kehidupan, tak sedikit suka duka yang membelenggunya ketika beliau bersusah
payah memeras peluh keringat beningnya. Suasana duka yang seringkali hinggap di
jiwanya, ketika beliau hendak menuliskan referensi namun tidak lengkap. Yang
ada hanya omongan dari mulut ke mulut yang identitas kebenarannya belum bisa
dibuktikan dan dipercayai. Sedangkan dalam Sejarah ada metodologi-metodologi yang
harus diaplikasikan.
Sumber lisan
tentu saja bisa dipakai sepanjang bisa menempatkan dengan keterkaitannya dengan
cerita yang tengah berkembang. Sementara hal yang sangat bisa menumbuhkan
semangatnya dalam menggali nilai-nilai kebudayaan apabila tulisan beliau
diterima dan sesuai dengan fakta. Sebab bukanlah suatu pekerjaan yang mudah
merangkai kata, memahami berbagai referensi, bertanya dengan narasumber
kemudian menggabungkannya dalam suatu kesatuan utuh.
Setelah pensiun
dari jabatannya yang lalu, ketua Bappeda Provinsi Jambi - beliau menjadi
seorang dosen akademisi di bidang sejarah dan kebudayaan Jambi pada sebuah
universitas swasta di Jambi. Diakuinya dari tahun ke tahun minat mahasiswa di
jurusan itu semakin bertambah.
Harapan beliau
terhadap masyarakat Jambi dalam menjaga tata nilai kebudayaan Jambi, yakni
tegak hormati tata nilai adat budaya Jambi sejalan dengan kemajuan global. Selain
itu beliau juga menyampaikan sedikit sumbangsih agar generasi penerus yang
tulus ingin membangun Jambi dengan menggali nilai sejarah dan kebudayaan tidak semata cenderung
mengharapkan kompensasi. Seperti kata seloko “lapuk-lapuk dikajangi buruk-buruk
dikerjoi”.
Semakin
bertambah umur, beliau makin gemar
menulis pantun. Jenis puisi lama yang ditulisnya ini biasa akan dipesan oleh
keluarga calon pengantin dan sebagai pembuka maupun penutup pidato gubernur.
Beliau sering menyebutnya Poetry by order.
Beliau akan tetap mencari, menulis dan menggali nilai-nilai sejarah kebudayaan
Jambi sampai titik darah penghabisan. Semuanya tak lain, kontribusi untuk
kemajuan bersama dalam membangun Jambi.(RFH)
***
dimuat di Majalah Tembilang Edisi I, Agustus 2011
Komentar
Posting Komentar