Oleh: Rini Febriani Hauri
Judul :
Jalan Kepiting
Pengarang :
Umar Fauzi Ballah
Penerbit :
Delima
Tahun Terbit :
Cetakan I, Juli 2012
Cetakan II, Februari 2017
Kehidupan penyair tidak
bisa lepas dari puisi. Ketika kata-kata mulai menjauh dan tenggelam, akan
selalu ada sisi lain yang mengantarkannya pulang dan kembali menuju diri
penyair. Bagi sebagian rezim, kata-kata dianggap musuh politik yang menakutkan.
Namun bagi penyair, kata-kata adalah anak kandung yang akan selalu dilahirkan.
Ia menghidupi dan menghidupkan.
Tentu saja, penyair
yang baik adalah ia yang pandai menggunakan kata-kata dengan tertata dan tidak
terkesan memaksa. Sebab puisi dibuat
atas dasar perenungan dan pengalaman yang mendalam. Maka jadilah ia puisi Jalan Kepiting.
Buku antologi puisi Jalan Kepiting yang ditulis oleh Umar
Fauzi Ballah, penyair kelahiran Sampang
ini, berisi 31 puisi dan terdiri atas 46 halaman. Sebagai pembaca, tentu saya
tidak merasa jenuh dengan jumlah halaman yang menurut saya ideal untuk kategori
buku puisi. Ditambah lagi, ada 7 ilustrasi karya penyair senior, Mardiluhung, yang membuat daya imajinasi saya bekerja. Hanya
saja, kelemahan penyair terletak pada beberapa diksi yang sudah sangat biasa,
seperti hujan, sepi, dermaga, kabut, gerimis, dan lainnya sehingga terkesan
menjadi epigon penyair-penyair terdahulu.
Puisi-puisi yang dilahirkan
penyair, barangkali merupakan pengalaman panjang yang sangat dekat dengan
kehidupan pribadinya. Beberapa diantaranya ditulis dengan lugas dan tidak
jarang juga direpresentasikan dalam bentuk metafor yang samar. Kumpulan puisi
ini bisa dikatakan gado-gado karena tidak dipatok dalam kesatuan tema yang
utuh. Selain cinta, kekaguman, persahabatan, dan keluarga, penyair juga
menceritakan kehidupan yang tidak hanya berpaut pada diri manusia saja, tetapi
jauh melampaui itu. Seperti penggalan puisi berjudul “Cacing Tanah” berikut
ini:
akan
selalu ada tempat kita buai
seperti
halnya kematian melambai-lambai
aku
yang tak pernah sampai, menjadikanmu
semacam
igau yang kudengar sepintas lalu
Dalam puisi ini, penyair
menggambarkan bahwa kematian itu bukan hanya dekat kepada manusia, melainkan
juga dekat dngan makhluk hidup lainnya yang ada di muka bumi (hewan dan
tumbuhan), sedangkan kesatuan bunyi yang indah juga tampak dalam rima berangkai
aabb.
Meskipun penyair tidak menulis dengan lugas mengenai keberadaan
Sampang dalam puisinya, secara tidak langsung ia menggambarkan kotanya itu
melalui beberapa puisi dan sejauh apapun ketika membaca ulang puis-puisi dalam
buku Jalan Kepiting, Sampang tetap takkan hilang dari ingatan. Misalnya dalam judul “Dermaga” berikut ini
/2/
icha
menangis, Mak
melihat
sajaknya dibawa sirip ikan
di
pinggiran pulau tak terbentang
berlompatan
di kolam garam
padahal
dulunya itu ladang
tembakau,
tempat bapaknya menjemur
kata-kata
dan kehidupan
/3/
sepertinya
aku melintasi selat ini
dengan
kapal yang sama;
kapal
yang sama
kengan
nyanyian purba mengiringinya
nyanyian
yang hanya melanjunkan kekosongan
dan
mengingatkanku pada ketololan
Betapa kesatuan imaji
penyair sangat kuat sehingga citraan yang dimunculkan membuat pembaca
meirinding. Pada puisi /2/ tampak kesedihan seorang anak yang ditinggal jauh
oleh ayahnya. Perasaan penyair menggambarkan kepiluan yang mendalam dan puisi
ini berhasil membuat saya sebagai pembaca larut sebagaimana yang dialami
penyair. Sementara pada puisi /3/, barangkali menggambarkan pengalaman penyair
saat menempuh perjalanan dari Sampang menuju kota lain dan kejenuhan yang
berulang bermunculan menyerang dari segala arah.
Dalam beberapa puisi
lainnya, imajinasi penyair yang liar juga tampak dalam puisi berjudul “Rumah
Kabut” dan “Menyusuri Kabut”. Penyair berani memasukkan diksi buah zakar. Namun dengan kecerdasan
mengolah kata, puisi tersebut menjadi estetis tanpa ada kesan porno. Keunikan
lain tampak jelas dalam puisi yang dijadikan judul antologi ini “Jalan Kepiting” yang tipologinya berbentuk seorang anak kecil yang sedang
berjalan.
ibu
kami ragu-ragu
mengikuti caramu
bersilat
dengan kilat
belati
yang menakjubkan itu
biarlah kami
tetap jadi cangkang
birumu
melindungimu
dari sengit langit
dan kalibut laut
ia meneruskan
jalannya
sebelum ia berenang
jadi pilihannya
berenang tak
membuatnya
tertatih-tatih
karena ia
lurus
terus
nan mulus.
Puisi ini menggambarkan
kehidupan seorang anak yang sepanjang hidupnya sangat ingin menjaga dan
melindungi ibunya. Kecintaan penyair terhadap seorang ibu juga terlihat pada puisi berjudul “Kemuning” ,yakni penyair menuliskan
pesan ibunya yang sakti, yang kelak barangkali perkataan ibunya itu memiliki
nyawa tersendiri. Pada halaman sebelum prolog, buku puisi ini dipersembahkan khusus
kepada Emak Hanirah, seorang ibu sekaligus teman yang sampai kapan pun akan
tetap hidup di hati penyair.
Pada akhirnya, puisi
akan tetap menjadi puisi, baik dari sudut pandang penyair, maupun sudut pandang pembaca. Tentu saja, lagi-lagi,
segala kenang, segala harap, dan segala cemas tidak terlepas dari kota Sampang.
Dan Sampang yang Tersembunyi akan tetap menjadi bagian yang bernilai bagi diri
penyair.
dimuat di majalah Jejak Literasi Edisi 8.
Komentar
Posting Komentar