Sebelum melangkahkan
kaki ke ibu kota, saya menghubungi tiga nomine Kusala Sastra Khatulistiwa (KSK) 2017
yang dua diantaranya kebetulan akan menghadiri acara serupa dengan saya, yakni
Deddy Arsya dan Hasta Indriyana. KSK adalah ajang penghargaan bergengsi untuk
sastrawan Indonesia yang didirikan oleh Richard Oh dan Takeshi Ichiki. Ajang
ini sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. KSK, dulunya bernama Khatulistiwa Literary Award (KLA). Pemenang utamanya akan mendapat hadiah
seratus juta rupiah.
Tersebab saya tiba
lebih awal di Jakarta sebelum acara Gerakan Literasi Nasional 5-7 Oktober 2017,
malam itu saya menonton perhelatan akbar malam anugerah Hari Puisi Indonesia
2017 di gedung Graha Bhakti Budaya TIM, Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Tepat
pukul 21.35 WIB, seorang penulis muda berbakat kelahiran 1990 mengabarkan bahwa
ia baru saja selesai rapat di IKJ dan sekarang telah berada di sebuah kantin di
TIM. Saya pun bergegas meninggalkan ruangan dan menuju penulis muda berbakat
itu, Heru Joni Putra (HJP).
Formula
Badrul Mustafa
HJP yang ketika itu
berada satu meja dengan Pinto Anugerah, Fariq Alfaruqi, Iyut Fitra, dan teman-teman
penulis asal Sumbar, terpaksa saya gondol ke meja sebelah. Kami pun
berbincang-bincang mengenai Badrul Mustafa. Di tahun 2017 ini, buku puisi HJP yang
berjudul Badrul Mustafa Badrul Mustafa
Badrul Mustafa masuk lima besar KSK dalam dua nominasi sekaligus, yakni kategori
puisi dan kategori karya pertama atau kedua. Mengapa Badrul Mustafa? HJP
mengatakan bahwa Badrul Mustafa merupakan tokoh fiksi yang menjadi fokus penceritaan,
tetapi ia tidak sepenuhnya sebagai nama tokoh, ia juga menjadi perumpamaan,
menjadi kata ganti, dan lain sebagainya. Dalam buku puisinya, HJP menggabungkan
bentuk puisi dan prosa.
Judul buku puisi HJP
bisa dikatakan unik karena ada pengulangan Badrul Mustafa sebanyak tiga kali. Tiga
kali karena kehadiran Badrul Mustafa bermacam ragam, berbagai karakter,
berbagai latar, dan berbagai dinamika hadir di dalamnya. Angka tiga sebagai
bentuk terkecil dari jamak, bukan satu yang tunggal atau dua yang dikotomis. Sebagai
formula, nama “Badrul
Mustafa”
bisa digunakan
secara kultural menjadi semacam
si Fulan. Tidak ada sebuah karakter nyata. Ia hanya Fulan yang hadir di berbagai tokoh dan
situasi untuk menyebut banyak peristiwa.
Saat pertama kali melihat
kover buku HJP, saya sempat berpikir bahwa nama Badrul Mustafa lebih mirip
dengan nama orang-orang keturunan Arab. HJP menjelaskan bahwa dalam urusan
sastra, kita boleh-boleh saja
menyerap
unsur apa pun dari sastra dunia. Tapi,
apakah ada
korelasi antara Arab dan Minang? Masuknya
Islam ke Minangkabau tentu membawa pengaruh Arab di dalamnya, meski tak
sepenuhnya. Pada
sisi tertentu, banyak aspek kebudyaan Arab-Islam yang sudah melebur bersama
kebudayaan Minangkabau-Hindu-Budha sebelumnya. Sehingga, apa yang pada zaman
dulu mungkin masih disebut sebagai kebudayaan Arab, kini telah menjadi suatu
produk akulturasi yang tak bisa sepenuhnya dicari kemurnian Arabnya. Contohnya
pada nama-nama khas Minangkabau yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab.
Proses
menulis puisi dalam buku
Badrul Mustafa sudah berlangsung sejak 2006 – 2016,
tetapi formula yang lebih utuh
untuk
Badrul Mustafa baru ditemukan
2013. Bila membuka buku puisi ini, Sahabat Puan akan menemukan bahwa dalam setiap puisi hadir tokoh fiksi yang bernama
Badrul Mustafa dalam berbagai modus kehadiran.
“Badrul Mustafa hanyalah salah satu cara untuk mencoba
kemungkinan lain dalam menulis puisi. Memang tak mudah. Saya
memang tidak
tergesa-gesa untuk memiliki antologi
tunggal.
Keinginan untuk memiliki
buku tentu saja sudah muncul sejak lama. Namun, saya berusaha untuk menahan diri. Betapa sulitnya
meyakinkan diri bahwa puisi-puisi yang saya tulis sudah “layak” dipublikasikan
dalam bentuk buku. Kalau menerbitkan saja mah
gampang. Akan tetapi, menulis puisi itu benar yang sangat sulit. Satu puisi rata-rata tiga
bulan. Setahun palingan cuma sepuluh puisi. Bagaimana pula lagi? Belum lagi mengumpulkan bahan-bahan yang akan kita
gunakan untuk menulis karya. Kan kita
menulis sastra, bukan curhatan patah hati,” tuturnya. Bagi HJP, puisi semestinya bisa menjadi “pamflet” di zamannya.
Malam semakin dingin. Jam
di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB, saya berpamitan kepada
teman-teman penulis. Di sepanjang perjalanan, kata-kata HJP beterbangan dalam pikiran. Taksi online menurunkanku
di Stasiun Cikini. Gerbong bernomor dua belas membawa serta tubuhku sampai
Stasiun Pondok Cina, Depok. Deru mesin kereta mengingatkanku bahwa masih ada
dua nomine KSK lagi yang harus diburu: penulis Penyair Revolusioner dan Rahasia
Dapur Bahagia.
Penggemar
Adonis yang Memangkas Akar Beringin
Tanggal 5 Oktober 2017,
saya sudah tiba sejak pagi di Hotel Santika, TMII, Jakarta Timur. Dari sekian
banyak teman penulis, saya belum melihat Deddy Arsya dan Hasta Indriyana.
Lagipula, acara pembukaan acara GLN 2017 yang digelar kamis malam dihadiri
Menteri Pendidikan RI, Muhadjir Effendy dan selesai pukul 22.00 WIB. Lalu saya
memutar kepala dan tibalah saat yang dinanti. Setelah acara pembukaan selesai,
saya menuju resto dan menghampiri Deddy Arsya.
Obrolan saya bersama
Deddy Arsya di restoran hotel malam itu dimulai dengan puisi dan diakhiri
dengan kopi. Kami duduk berdua sambil menikmati makan malam dan saya merasa
merdeka karena berhasil menculik beliau dari teman-temannya. Deddy sudah menulis
puisi sejak sepuluh tahun lalu, namun akhir-akhir ini Deddy lebih senang
menulis sejarah. Deddy juga menulis cerpen, esai, dan cerita anak. Di acara GLN
2017 ini saja, buku cerita anak Deddy lolos dua judul. Ya, lumayan bisa
mengantongi dua gepok uang yang masing-masing nominalnya Rp10juta. Lucunya,
Deddy tidak mau dibilang sebagai multitalent,
sembari tertawa ia memplesetkan menjadi multidisipliner.
“Saya tidak yakin
menjadi pemenang KSK meskipun masuk lima besar kategori buku puisi. Saya belum
membaca semua buku nomine KSK kecuali Badrul
Mustafa Badrul Mustafa Badrul Mustafa. Menurut saya yang paling berpeluang
adalah Hasta Indriyana. Sebab yang menjadi pertimbangan lain bukan hanya teks,
melainkan juga hal-hal di luar karyanya,” tuturnya. Karena tak diburu
keberangkatan kereta dengan bayang-bayang pintu pagar akan dikunci oleh Pak kos
seperti pertemuan pertama dengan HJP, kami mengobrol dengan santai seperti
obrolan teman lama yang baru bersua.
Sebelum Penyair Revolusioner, buku puisi Deddy
yang juga pernah masuk lima besar Khatulistiwa Literary Award 2013 berjudul Odong-Odong Fort de Kock, meski tidak
menjadi juara utama di KLA, buku ini terpilih sebagai sastra terbaik 2013 versi
majalah Tempo. Perbedaan antara buku
puisi yang lama dengan yang baru bisa dilihat dari bahasa. Puisi-puisi di Penyair Revolusioner lebih pepat dan
padat. Ibarat pohon beringin, akarnya terlalu banyak menjalar kemana-mana dan
pada buku puisi kedua, akar-akar ini sudah dipangkas. Proses menuju pemangkasan
melalui upaya berkreasi dan evaluasi kerja kepenyairan sebelumnya. “Tiba-tiba
saya merasa bahwa puisi yang baik itu yang sederhana,” ucapnya.
Buku yang sering dibaca
oleh Deddy, selain Chairil Anwar, ada Emily Dickinson (Penyair AS) dan Adonis
(Penyair Arab). Menurut Deddy, Adonis adalah tonggak perpuisian modern Arab dan
seringkali diunggulkan meraih nobel. Selain Nizar Qabbani, ia sangat senang
membaca Adonis. Dengan membaca, tidak bisa dipungkiri bahwa puisi-puisi Deddy
terpengaruh gaya kepenyairan idolanya.
Sambil menelan es buah,
Deddy menjelaskan bahwa buku Penyair Revolusioner
mendeskripsikan tentang autokritik, menggugat adat, menggugat sejarah, dan menggugat
dunia sastra sebab DA tidak begitu suka dengan
hiruk pikuk sastra, awalnya buku ini akan diberi judul Musim Beras Mahal dan Wabah Cacar,
pertimbangannya bisa salah letak di rak kesehatan, maka saran editor akhirnya
judul buku berganti menajadi Penyair
Revolusioner.
Mengapa buku puisi Penyair Revolusioner perlu dibaca banyak
orang? Sebab Penyair Revolusioner berbeda.
Terkadang ada penyair lain yang terlalu
sibuk dengan bahasa, berakrobat dengan kata-kata, dan mengasah kemahiran bahasa
sehingga mengabaikan konten dan hasilnya, pembaca hanya akan menikmati kerimbunan
bahasa tanpa mendapatkan apa-apa. Dalam Penyair
Revolusioner, kerimbunan bahasa dan konten dipadupadankan.
“Menulis puisi bagi
saya berangkat dari konten, setelah itu baru mempermainkan konten degan
kemahiran bahasa. Jangan sampai terbalik atau kehilangan salah satunya. Penyair
yang lebih menggunakan objek bahasa tanpa konten seringkali terjebak pada
kerimbunan bahasa sehingga seringkali penyair memberikan sisipan konten setelah
menafsirkan. Saat menulis puisi, saya tidak pernah mencari kata-kata, tetapi
kata-kata yang menghampiri saya. Ia datang tiba-tiba di kepala dan segalanya
menjadi senyap. Barangkali seperti nabi Muhammad kala menerima wahyu dari Allah
SWT,” tutur Deddy.
Disela-sela obrolan,
Esha Tegar Putra menuju meja kami. Sejenak, obrolan saya dengan Deddy beralih
ke Esha. Tahun 2016, buku puisi Esha yang berjudul Sarinah pernah masuk sepuluh besar KLA dan tahun 2015 bukunya
berjudul Dalam Lipatan Kain masuk
lima besar KLA. Deddy masih asyik dengan es buahnya dan denting ssuara sendok
mengudara. Saat saya menanyakan mengapa banyak penulis berbakat lahir dari
Sumbar? Esha menjawab bahwa ini hanya persoalan iklim. Lanskap daerah sangat berpengaruh
dari proses kreatif. Akan lebih gampang orang minang menulis daripada bercakap.
Secara pribadi, Esha sendiri menjagokan Deddy. Namun ada kemungkinan Hasta, Kiki,
atau Toni. Semuanya berada di tangan juri.
Malam semakin malam. Obrolan
kami diakhiri dengan janji ngopi di
sekitar areal TMII. Saya, penyair perempuan Sumbar, Evan YS, penyair-penyair
Sumbar lainnya (Esha, Pinto, Dian, Iyut Fitra, dan Deddy Arsya), dan Beny Bara
(penulis dari NTB) yang juga peserta GLN menelusuri lekuk tubuh Jakarta dengan
berjalan kaki. Di sela perjalanan, Deddy
menanyakan usia saya, tapi saya tidak mau menjawabnya. Saat saya tanya kembali
usia Deddy, ia tidak mau menajawab. Padahal saya tahu, di biodata bukunya ia
adalah lelaki kelahiran 1987, generasi di atas HJP. Warung kopi di sekitar
hotel tak ada yang buka. Perjalanan hampir sejauh 10 km yang kami tempuh tak membuat
kami berkeluh kesah karena lelah. Kami kembali ke hotel dan menikmati kopi
sidikalang khas Sumut di kamar 348 sambil memperbincangkan banyak hal hingga
pukul 00.30 WIB.
Hasta:
Bapak Rumah Tangga yang Senang Memasak
Di hari kedua acara,
saya yang berada di ruang C dan tak terlalu paham dengan aplikasi indesign mencari udara segar, tanpa
pamit kepada panitia. Tentu saja mencari Hasta Indriyana yang berada di kelas
sebelah. Tanpa seizin istrinya yang juga ada di acara yang sama, saya mengajak
Hasta berbincang-bincang di lobi hotel. memang, acara GLN Badan Bahasa ini sangat membosankan. niat saya datang ke sana hanya untuk mengambil uang hadiah senilai 10 juta rupiah (dipotong pajak), tapi apa daya, kami diberikan banyak tugas, salah satunya mengedit tulisan kami sendiri di aplikasi indesign.
Malam anugerah KSK akan diadakan 25
Oktober 2017 pukul 19.00 WIB di Plaza Senayan, Jakarta. Hasta berharap bisa
datang sekadar berjabat tangan dengan teman-teman, namun ia belum tahu bisa
datang atau tidak mengingat ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan.
“Semoga bisa datang”, ucapnya.
Berbicara mengenai Resep Dapur Bahagia (RDB), di tahun ini
ia masuk lima besar kategori puisi di KSK 2017. Buku bersampul kuning itu
mengisahkan perihal tentang masakan. Pada prosa, cerita tentang masakan sudah
banyak bisa dijumpai, sebut saja cerita Burung-Burung Manyar karya Y.B.
Mangunwijaya an masih banyak lagi.
Indonesia sangat kaya,
termasuk kulinernya. Banyak tersedia bumbu, rempah-rempah, hasil bumi yang bisa
dinikmati sehingga harus dikabarkan
dalam bentuk puisi. Meski sudah ada penyair Indonesia yang menulis tentang
masakan, yakni penyair wanita berdarah Tionghoa, Hana Fransiska. Menurut Hasta
yang membedakannya hanya persoalan batasan tema, bentuk, dan jenis-jenis
masakan tertentu yang akan ditulis.
Saat puan.co menanyakan
apakah Hasta bisa memasak? Dengan tidak malu-malu, penulis kelahiran 1977 ini
menjawab
“Saya bisa memasak
karena belajar dengan istri. Selain momong anak perempuan – si Candi – hampir
tiap hari saya memasak untuk rumah sebab istri saya bekerja. Perihal enak atau
tidaknya, yang penting bisa melepaskan lapar. Saya memang bapak rumah tangga,”
tuturnya sambil menyeringai.
Hasta kemudian
menceritakan bahwa judul buku puisi Resep
Dapur Bahagia merupakan masukan dari istri. Bahwa ada kata “rahasia” yang
menarik untuk didengar karena kata itu mengandung misteri. Sementara kata
“dapur” mewakili kuliner, dan kata “bahagia” memang ingin menampilkan hal-hal
yang riang.
Mengenai buku puisi
nomine lain, Hasta mengatakan bahwa ia belum membaca semuanya. Yang sudah ia
baca hanya buku puisi HJP sebab ia memang suka dengan buku puisi itu dan Hasta
tak pernah bosan membacanya. Menurut Hasta semua buku yang masuk lima besar
pasti bagus dan memiliki kelebihan tersendiri. Puisi itu masuk ke wilayah seni.
Ketika seni dilombakan, tentu saja subjektivitas juri yang akan berbicara. Cita
rasa yang dikehendaki seperti apa ia juga belum tahu. Biasanya tidak hanya
semata teks yang dinilai, tetapi di luar teks juga menjadi pertimbangan.
“Saya belum pernah
membayangkan akan jadi pemenang, ini event
sastra yang cukup besar di Indonesia. Saya merasa belum pantas menjadi juara meskipun
saya diam-diam mengharapkan hadiahnya. Harus banyak berproses,” tuturnya sambil
tersenyum.
Buku RDB memang sudah
diniatkan jauh-jauh hari dalam sekian tahun. Untuk menulis puisi-puisi dalam
buku RDB, Hasta banyak membaca buku-buku yang berkaitan dengan kuliner, seperti
Serat Centhini, Babad Tanah Jawi, Babad
Gunung Kidul, dll. Setelah membaca biasanya pengetahuan semakin bertambah.
Sebut saja masakan kare dari India, ketika masakan itu masuk pertama kali di Indonesia
melalui Aceh, maka ia akan berbaur dengan budaya setempat dan tidak lagi murni
sebagai kare India. Hal ini banyak terjadi pada beberapa masakan, misalnya saja
semur yang alinya berasal dari Eropa. Ketika semur masuk Indonesia, cita
rasanya sudah Jawa banget. Ada beberapa orang yang mengatakan bahwa semur
adalah pencapaian masakan Eropa tertinggi di Indonesia.
Yang menjadi pembeda
buku puisi RDB dengan buku puisi Piknik
yang Menyenangkan (PYM) adalah bahwa buku PYM memang sedari awal niatnya
mau dibagi-bagi sebagai dokumentasi saja. Representasi dari awal bertahun-tahun
dan beragam gaya puisi dicoba: mulai dari mengeksplor gaya bahasa yang lebih
bebas, struktur kalimat, hingga pencarian rima. Puisi terbaik ada di buku PYM.
Buku yang pernah menjadi unggulan puisi HPI ini memang tidak untuk dijual.
Dicetak sebanyak 120 eks, 80 eks
dibagikan kepada siapa saja yang menginginkannya. Hingga sekarang ada penerbit
yang menginginkan buku PYM dicetak ulang sebab banyak yang ingin membacanya,
namun Hasta belum mengizinkannya.
Tawaran estetik RDB
memang ada, tetapi tidak terlalu banyak. Buku puisi ini ditulis dalam tiga
bagian. Bagian satu berjudul “Rahasia” ditulis dengan gaya alusi dengan sedikit
banyak acuan sejarah. Bagian dua berjudul “Dapur”memakai impresi dengan
mengisahkan rempah-rempah dan menunjukkan kekayaan Indonesia. Sementara bagian
tiga “Bahagia” mengisahkan
perkakas-perkakas dapur tradisonal.
Azan Jumat menggema dan
saya bergegas pamit menuju ruang C. Di akhir Oktober nanti Badrul Mustafa Badrul Mustafa Badrul
Mustafa dan Penyair Revolusioner akan
menemui takdirnya bersama Rahasia Dapur
Bahagia. Lalu bagaimana dengan buku puisi lain yang belum masuk KSK? Ia akan
mengalir tak henti-henti di tubuh pencintanya.
Catatan: Tulisan Rini Febriani Hauri pernah dimuat di puan.co tertanggal 10 Oktober 17. Sila klik http://puan.co/2017/10/penyair-tiga-generasi-para-nomine-kusala-sastra-khatulistiwa-2017/
Komentar
Posting Komentar