Novel Kantapura pertama kali
diterbitkan pada tahun 1938 dalam edisi bahasa Inggris. Kisah dalam novel ini
menceritakan tentang sebuah desa terpencil
di India Selatan bernama Kantapura. Desa ini diyakini dilindungi oleh dewa
lokal bernama Kenchamma. Semua cerita
dalam novel ini dituturkan oleh seorang wanita tua desa yang tak pernah
menyebutkan nama. Gaya penceritaannya mirip epos klasik India, seperti Ramayana dan Mahabharata.
Tokoh utamanya bernama Moorthy,
lelaki muda asal Kantapura yang sedang berkuliah di kota. Kemudian Moorthy
tidak sengaja mendengar pidato Mahatma Gandhi. Ia menjadi akrab dengan filsafat
Gandhi dan meniru gaya hidup Gandhi dengan memakai Khaddar saat pulang ke Kantapura. Ia membuang segala pakaian asing,
dan menentang sistem kasta. Di Kantapura, Moorthy menjadi pemimpin desa dengan mendirikan
kongres panchayat. Sejak itu, ia menyebarkan ajaran-ajaran gandhi, seperti ahimsa (menjunjung tinggi semangat nirkekerasan),
swadeshi (cinta tanah air), dan satyagraha (berpegang teguh pada
kebenaran).
Moorthy terlahir dari kasta
Brahmana, yakni kasta tertinggi, tersuci, dan terdominan dalam mendapatkan
hak-hak istimewa guna mendapatkan wilayah tempat tinggal terbaik di Kantapura. Meski demikian, Moorthy tidak lantas
menganggap kasta lain adalah hina. Ia memercayai ajaran Gandhi bahwa semua
orang itu sama di hadapan Tuhan.
Bersama anggota kongres lainnya,
Moorthy mencoba memerangi imperialisme Inggris yang melanda India pada masa itu.
Ia membeli mesin-mesin pemintal dan membagi-bagikannya secara gratis ke
orang-orang berkasta brahmana dan paria (kasta
paling rendah, terpinggirkan, dan hina dina). Setiap hari mereka memintal lebih
dari seratus yard benang untuk dijadikan pakaian. Gejolak kedua kasta ini
sangat menonjol, terlihat beberapa tindakan toko kasta brahmana yang sering
meludahi orang-orang paria. Bila mengadakan Bhajan
di kuil, yang hanya diizinkan memasuki kuil hanya yang berkasta brahmana,
sementara orang-orang paria hanya boleh berdoa di halaman dan terasnya saja.
orang-orang paria hanya diizinkan masuk ke kuil sekali saja dalam setahun.
Moorthy bersama Seenu dengan sukarela
juga mengajarkan tata bahasa kepada orang-orang paria. Pendeta desa dan
orang-orang brahmana menentang dan mengucilkannya dari Kasta Brahmana. Ibu
Moorthy – Narasamma – ketakutan dengan perbuatan Moorthy yang dianggap sangat
berani dan menyalahi adat. Karena sakit akibat ulah Moorthy, ibunya kemudian
meninggal dunia. Semenjak itu, Moorthy tinggal bersama Ragamma, seorang janda
yang aktif dalam gerakan kemerdekaan India.
Adat dan tradisi ketimuran,
khususnya India, sangat kental terasa. Hal ini terlihat pada masyarakat yang
masih mengadakan tradisi festival tahunan yang diikuti oleh masyarakat di kuil.
Meskipun perbedaan kasta sangat mencolok, semua penduduk dapat bersatu dan
berinteraksi melalui tradisi ini. Selain itu juga tampak pada kisah seorang remaja.
Ketika remaja berusia tujuh belas tahun, maka ia akan diberi tahu rasi
perbintangannya. Masa-masa itulah seorang remaja dinyatakan siap untuk menikah.
Maka para orang tua akan sibuk mencarikan jodoh untuk anaknya. Sebab menikah
muda dalam tradisi berarti menyelamatkan kehormatan keluarga.
Moorthy yang dicintai oleh kaum paria lalu diundang
oleh kaum brahmana untuk datang ke perkebunan kopi skeffington. Ia diminta
untuk menciptakan kesadaran akan ajaran Gandhi di kalangan kuli-kuli paria.
Ternyata Moorthy hanya dijebak. Ia dipukuli oleh polisi Badhe Kan. Moorthy yang
depresi karena kekerasan tersebut tetap melanjutkan perjuangannya melawan
ketidakadilan.
Pemerintah Inggris yang tak suka
dengan gerakan kongres yang dipimpin oleh Morthy, seperti memintal benang dan membuat garam, kemudian
menuduh Moorthy menghasut warga. Moorthy kemudian di penjara selama tiga bulan.
Lalu, Rangamma membentuk korps relawan perempuan Kantapura. Rangamma yang kala
itu menjadi pemimpin berhasil menanamkan patriotisme kepad akaum perempuan, yakni dengan cara
menceritakan perjalanan hidup wanita-wanita perkasa India. Mereka bersama-sama
menghadapi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh polisi, seperti penyerangan
dan pemerkosaan terhadap wanita-wanita tak berdosa. Para polisi dengan kasarnya
juga membakar Desa Kantapura. Ketika Moorthy telah bebas dari penjara, seluruh
warga desa menyambutnya. Seluruh warga bersatu tanpa memedulikan kasta.
Terjemahan novel ini sangat
bagus. Sayangnya, masih banyak terdapat istilah-istilah khas India yang
kebanyakan tidak diberi catatan kaki meski sebagian memang ada. Memang, tidak
semua kosakata bisa diterjemahkan dalam bahasa tertentu untuk memunculkan kekhasan
suatu bahasa. Namun, ke depan penerjemah perlu memberikan penjelasan yang
konkret agar pembaca tidak bingung dan menerka-nerka dengan sendirinya.
Terdapat beberapa ratapan, nyanyian, ungkapan masyarakat Desa Kantapura yang
ditulis dalam bentuk bait seperti puisi.
Novel yang ditulis dalam nafas
panjang ini, pada tiap-tiap babnya, setting
suasananya begitu kentara. Pembaca akan
diajak berpetualang dengan bermodalkan pancaindera, terutama indera
pendengaran. Usai membacanya, sihir bunyi-bunyiannya masih berdenging di
mana-mana. Di awal-awal membaca, ketika
pembaca tidak fokus, pembaca akan dibuat bingung tentang masalah penamaan sebab
memang tidak ada ciri khas tertentu sebagai pembeda antara nama tokoh laki-laki
dan nama perempuan. Berbeda dengan tokoh-tokoh dalam novel Indonesia yang
sebagian besar kita bisa memahami bahwa nama tokoh tertentu adalah jenis
kelamin tertentu.
Yang fatalnya, masih ada beberapa
penulisan kata yang salah ketik, seperti Kantapura yang ada ditulis Santapura (halaman 200). Ada juga nama
tokoh Seenu yang kemudian salah ketik menjadi Seemu (halaman 112) dan Deenu
(halaman 139). Memang, novel terjemahan ini pertama kali diterbitkan oleh PT
Dunia Pustaka Jaya tahun 1997. Sayangnya, setelah penerbitan dialihkan ke
penerbit KPG, ternyata tidak diperbaiki terlebih dahulu. Hal ini bisa
dibuktikan di halaman IV yang memang
tidak dituli sana editor atau penyuntingnya. Malah, di bagian kiri bawah
halaman ini saya menemukan sebuah pernyataan yang tulisannya begini, Dicetak oleh PT Gramedia Jambi. Isi di luar
tanggung jawab percetakan.Sebenarnya, secara umum buku-buku terjemahan seri
sastra dunia KPG hanya dialih cetak saja tanpa ada perbaikan ejaan.
Meski demikian, permasalahan
ejaan tidak mengurangi esensi cerita yang dikemas dengan kisah-kisah menarik. Saya
jadi teringat masa lalu. Masa di mana saya pernah merasa berada di antara
kerumunan orang-orang yang mengagung-agungkan Mahatma Gandhi. Ah, saya jadi
teringat Martin Luther King Jr dan Nelson Mandela.
Judul Buku : Kantapura
Penulis : Raja Rao
Penerjemah : Hartojo Andangdjaja
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, November 2016
Tebal Halaman : VIII + 276 halaman
Catatan: Resensi Rini Febriani Hauri ini pernah dimuat di puan.co tertanggal 16 Nov 17. Sila klik link http://puan.co/2017/11/sang-nasionalis-muda-dari-india-selatan/
Komentar
Posting Komentar