Langsung ke konten utama

RESENSI 11 : Sang Nasionalis Muda dari India Selatan





Novel Kantapura pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 dalam edisi bahasa Inggris. Kisah dalam novel ini menceritakan  tentang sebuah desa terpencil di India Selatan bernama Kantapura. Desa ini diyakini dilindungi oleh dewa lokal bernama Kenchamma. Semua cerita dalam novel ini dituturkan oleh seorang wanita tua desa yang tak pernah menyebutkan nama. Gaya penceritaannya mirip epos klasik India, seperti Ramayana dan Mahabharata.

Tokoh utamanya bernama Moorthy, lelaki muda asal Kantapura yang sedang berkuliah di kota. Kemudian Moorthy tidak sengaja mendengar pidato Mahatma Gandhi. Ia menjadi akrab dengan filsafat Gandhi dan meniru gaya hidup Gandhi dengan memakai Khaddar saat pulang ke Kantapura. Ia membuang segala pakaian asing, dan menentang sistem kasta. Di Kantapura, Moorthy  menjadi pemimpin desa dengan mendirikan kongres panchayat. Sejak itu, ia menyebarkan ajaran-ajaran gandhi, seperti ahimsa (menjunjung tinggi semangat nirkekerasan), swadeshi (cinta tanah air), dan satyagraha (berpegang teguh pada kebenaran).

Moorthy terlahir dari kasta Brahmana, yakni kasta tertinggi, tersuci, dan terdominan dalam mendapatkan hak-hak istimewa guna mendapatkan wilayah tempat tinggal terbaik di Kantapura.  Meski demikian, Moorthy tidak lantas menganggap kasta lain adalah hina. Ia memercayai ajaran Gandhi bahwa semua orang itu sama di hadapan Tuhan.

Bersama anggota kongres lainnya, Moorthy mencoba memerangi imperialisme Inggris yang melanda India pada masa itu. Ia membeli mesin-mesin pemintal dan membagi-bagikannya secara gratis ke orang-orang berkasta  brahmana dan paria (kasta paling rendah, terpinggirkan, dan hina dina). Setiap hari mereka memintal lebih dari seratus yard benang untuk dijadikan pakaian. Gejolak kedua kasta ini sangat menonjol, terlihat beberapa tindakan toko kasta brahmana yang sering meludahi orang-orang paria. Bila mengadakan Bhajan di kuil, yang hanya diizinkan memasuki kuil hanya yang berkasta brahmana, sementara orang-orang paria hanya boleh berdoa di halaman dan terasnya saja. orang-orang paria hanya diizinkan masuk ke kuil sekali saja dalam setahun.

Moorthy bersama Seenu dengan sukarela juga mengajarkan tata bahasa kepada orang-orang paria. Pendeta desa dan orang-orang brahmana menentang dan mengucilkannya dari Kasta Brahmana. Ibu Moorthy – Narasamma – ketakutan dengan perbuatan Moorthy yang dianggap sangat berani dan menyalahi adat. Karena sakit akibat ulah Moorthy, ibunya kemudian meninggal dunia. Semenjak itu, Moorthy tinggal bersama Ragamma, seorang janda yang aktif dalam gerakan kemerdekaan India.

Adat dan tradisi ketimuran, khususnya India, sangat kental terasa. Hal ini terlihat pada masyarakat yang masih mengadakan tradisi festival tahunan yang diikuti oleh masyarakat di kuil. Meskipun perbedaan kasta sangat mencolok, semua penduduk dapat bersatu dan berinteraksi melalui tradisi ini. Selain itu juga tampak pada kisah seorang remaja. Ketika remaja berusia tujuh belas tahun, maka ia akan diberi tahu rasi perbintangannya. Masa-masa itulah seorang remaja dinyatakan siap untuk menikah. Maka para orang tua akan sibuk mencarikan jodoh untuk anaknya. Sebab menikah muda dalam tradisi berarti menyelamatkan kehormatan keluarga.

Moorthy  yang dicintai oleh kaum paria lalu diundang oleh kaum brahmana untuk datang ke perkebunan kopi skeffington. Ia diminta untuk menciptakan kesadaran akan ajaran Gandhi di kalangan kuli-kuli paria. Ternyata Moorthy hanya dijebak. Ia dipukuli oleh polisi Badhe Kan. Moorthy yang depresi karena kekerasan tersebut tetap melanjutkan perjuangannya melawan ketidakadilan.

Pemerintah Inggris yang tak suka dengan gerakan kongres yang dipimpin oleh Morthy, seperti  memintal benang dan membuat garam, kemudian menuduh Moorthy menghasut warga. Moorthy kemudian di penjara selama tiga bulan. Lalu, Rangamma membentuk korps relawan perempuan Kantapura. Rangamma yang kala itu menjadi pemimpin berhasil menanamkan patriotisme  kepad akaum perempuan, yakni dengan cara menceritakan perjalanan hidup wanita-wanita perkasa India. Mereka bersama-sama menghadapi kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh polisi, seperti penyerangan dan pemerkosaan terhadap wanita-wanita tak berdosa. Para polisi dengan kasarnya juga membakar Desa Kantapura. Ketika Moorthy telah bebas dari penjara, seluruh warga desa menyambutnya. Seluruh warga bersatu tanpa memedulikan kasta.

Terjemahan novel ini sangat bagus. Sayangnya, masih banyak terdapat istilah-istilah khas India yang kebanyakan tidak diberi catatan kaki meski sebagian memang ada. Memang, tidak semua kosakata bisa diterjemahkan dalam bahasa tertentu untuk memunculkan kekhasan suatu bahasa. Namun, ke depan penerjemah perlu memberikan penjelasan yang konkret agar pembaca tidak bingung dan menerka-nerka dengan sendirinya. Terdapat beberapa ratapan, nyanyian, ungkapan masyarakat Desa Kantapura yang ditulis dalam bentuk bait seperti puisi.

Novel yang ditulis dalam nafas panjang ini, pada tiap-tiap babnya, setting suasananya  begitu kentara. Pembaca akan diajak berpetualang dengan bermodalkan pancaindera, terutama indera pendengaran. Usai membacanya, sihir bunyi-bunyiannya masih berdenging di mana-mana. Di  awal-awal membaca, ketika pembaca tidak fokus, pembaca akan dibuat bingung tentang masalah penamaan sebab memang tidak ada ciri khas tertentu sebagai pembeda antara nama tokoh laki-laki dan nama perempuan. Berbeda dengan tokoh-tokoh dalam novel Indonesia yang sebagian besar kita bisa memahami bahwa nama tokoh tertentu adalah jenis kelamin tertentu.

Yang fatalnya, masih ada beberapa penulisan kata yang salah ketik, seperti Kantapura yang ada ditulis Santapura (halaman 200). Ada juga nama tokoh Seenu yang kemudian salah ketik menjadi Seemu (halaman 112) dan Deenu (halaman 139). Memang, novel terjemahan ini pertama kali diterbitkan oleh PT Dunia Pustaka Jaya tahun 1997. Sayangnya, setelah penerbitan dialihkan ke penerbit KPG, ternyata tidak diperbaiki terlebih dahulu. Hal ini bisa dibuktikan di halaman IV yang memang tidak dituli sana editor atau penyuntingnya. Malah, di bagian kiri bawah halaman ini saya menemukan sebuah pernyataan yang tulisannya begini, Dicetak oleh PT Gramedia Jambi. Isi di luar tanggung jawab percetakan.Sebenarnya, secara umum buku-buku terjemahan seri sastra dunia KPG hanya dialih cetak saja tanpa ada perbaikan ejaan.

Meski demikian, permasalahan ejaan tidak mengurangi esensi cerita yang dikemas dengan kisah-kisah menarik. Saya jadi teringat masa lalu. Masa di mana saya pernah merasa berada di antara kerumunan orang-orang yang mengagung-agungkan Mahatma Gandhi. Ah, saya jadi teringat Martin Luther King Jr dan Nelson Mandela.


Judul Buku                          : Kantapura
Penulis                                 : Raja Rao
Penerjemah                          : Hartojo Andangdjaja
Penerbit                                : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan                                :  Pertama, November 2016
Tebal Halaman                      :  VIII +  276 halaman






Catatan: Resensi Rini Febriani Hauri ini pernah dimuat di puan.co tertanggal  16 Nov 17. Sila klik link http://puan.co/2017/11/sang-nasionalis-muda-dari-india-selatan/




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pepatah Jepang I

diambil dari catatan Facebook, 17 Agustus 2010         Pepatah dalam bahasa Jepang disebut kotowaza (ことわざ)salah satunya nih, iwanu ga hana いわぬ が 花 artinya, tidak bicara itu bunga, maksudnya  diam adalah emas. "Aite no nai kenka wa dekinu" artinya Orang tak bisa bertengkar tanpa musuh. "Shippai wa seikou no moto" artinya kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda "Hito no uwasa mo shici jyu go nichi"  (人の噂も七十五日) artinya, gosip/rumor hanya bertahan selama 75 hari alias gosip/rumor tidak akan bertahan lama.  "Sarumo ki kara ochiru" 猿も木から落ちる  artinya kera juga bisa jatuh dari pohon.  Sama artinya dengan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga "Baka mo ichi-gei" 馬鹿 も いちげい artinya, orang bodoh pun punya kelebihan/kebaikan "Arashi no ato, sora ni niji ga kakarimashita" artinya Badai pasti berlalu "Onna sannin yoreba kashimashii" artinya: di mana pun ketika ada t

10 Alasan Mengapa Kita Harus Berkunjung ke Perpustakaan

Hai, Sahabat Puan, sudah ada yang tahu kalau tanggal 14 September ternyata diperingati sebagai hari berkunjung ke perpustakaan? Ada yang tahu mengapa di Indonesia memunculkan hari peringatan ini? Tentu saja alasannya supaya masyarakat mau datang dan singgah untuk membaca. Coba ingat-ingat, selama bulan September ini, sudah berapa kali Sahabat Puan berkunjung ke perpustakaan? Beberapa kali atau bahkan tidak sama sekali? Sebenarnya, apa saja sih alasan-alasan seseorang mengunjungi perpustakaan? Yuk, simak alasannya berikut! Bisa Meminjam Buku Karena di perpustakaan adalah gudangnya buku, kamu bisa datang untuk meminjam buku apa saja sesuai keinginanmu. Syarat-syarat dan ketentuannya pun berbeda-beda sesuai regulasi perpustakaan masing-masing. Jika kamu sangat ingin membaca suatu buku dan kebetulan kamu tidak memiliki buku tersebut, atau buku tersebut sulit dicari di pasaran karena sudah langka, salah satu alternatif untuk membacanya adalah meminjam ke perpustakaan

Buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia

Oleh: Tri Wahyuni Zuhri Judul  : Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia Penulis : Kurniawan Junaedhie Penerbit : Kosa Kata Kita Jakarta Jumlah hlm. : 338 Tahun : 2012 Buku yang di tulis oleh Kurniawan Junaedhie dan di terbitkan oleh Kosa Kata Kita Jakarta, memang cukup banyak di cari. Terutama karena buku ini memuat sekitar 800-an lebih profil perempuan pengarang dan penulis Indonesia.  Sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran 1897, hingga Sri Izzati, pengarang kelahiran 1995. Dalam kata pengantar di buku ini, Kurniawan Junaeid menjelaskan alasannya membuat buku Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia.  Selama ini masih sedikit sekali buku  literatur yang menjelaskan sepak terjang perempuan pengarang dan penulis di Indonesia.  Sebut saja buku-buku tersebut antara lain Leksikon Kesustraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) di susun oleh Pemusuk Eneste, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang di su

Rise For Holiday