Saat pertama kali melihat
nama Mutia Sukma dan Indrian Koto masuk ke jajaran sepuluh hingga lima besar
Kusala Sastra Khatulistiwa 2017, saya merasa senang sekaligus bersyukur. Pasalnya,
mereka bukanlah orang jauh bagi saya meski tempat tinggal saya dan mereka
benar-benar jauh. Setiap kali singgah ke Yogyakarta, saya pasti mampir ke kediaman
mereka (yang sekaligus Toko Buku JBS – Jual Buku Sastra) di Jalan Wijilan Gang
Semangat 150, Alun-alun Utara, Yogyakarta. Sambutan mereka pun selalu hangat. Kunjungan
terakhir saya ke sana sekitar bulan Juli
pascalebaran. Biasanya saya selalu membawa kopi Jambi, tetapi kali itu kopi
yang bawa sudah habis dan kedatangan saya memang sengaja menjemput sepasang
puisi milik suami istri ini.
Perempuan
dan Puisi
Perkenalan saya dengan
Sukma telah berlangsung sejak lima tahun silam tatkala ada acara PPN VI di
Jambi. Kebetulan saya saat itu panitia. Saat itu Sukma datang bersama lelaki
(bukan Indrian Koto). Saya masih ingat tanggal bersejarah itu. Kami bertemu di gedung
olah seni galeri seni rupa dewan kesenian Jambi pada 27 Desember 2012. Sebab lelaki
itu adalah teman baik Sukma dan Koto, yang juga eks moderator abadi kegiatan
sastra di JBS, yang sekarang saya culik untuk pindah ke Jambi (dan saya pernah
merasa sangat berdosa kepada Sukma dan Koto).
Jika kali pertama
pertemuan kami disebabkan oleh puisi, pertemuan kami di hari-hari berikutnya
ketika saya liburan ke Yogya, selalu membawa banyak kisah tersendiri. Sukma
perempuan yang hangat dan sederhana. Saya suka puisi-puisinya yang lembut dan
tenang. Namun setiap kali kami berbincang-bincang, kami hampir tidak pernah
membicarakan puisi. Kami lebih banyak membicarakan produk kecantikan dan
hal-hal seputar perempuan. Namun Juli
lalu ketika saya berkunjung ke JBS, Sukma mengatakan bahwa buku puisinya baru saja
diikutsertakan ke lomba KSK. Setelah itu kami (saya, kekasih saya, Sukma, Rinai
dan Koto) makan siang bersama (hal yang sebenarnya membuat saya selalu merasa
tidak enak kepada Sukma adalah karena Sukma selalu memosisikan saya sebagai
tamu jauh).
Baiklah. Jarak yang
jauh tak menutup kemungkinan saya untuk mengulik buku puisi Sukma yang berjudul
Pertanyaan-Pertanyaan tentang Dunia. Tentu
saja ada banyak cara menghubungi Sukma, memanfaatkan media sosial misalnya.
“Saat tahu nama saya
ada di urutan sepuluh besar, tentu saya berbahagia. Namun sungguh tidak
menyangka bisa masuk ke lima besar sebab saya sadar bahwa buku pertama saya ini
disiapkan dengan gegabah. Tidak semua puisi awal hingga saat ini terkumpul.
Padahal, banyak puisi semasa awal saya menulis yang seharusnya masuk. Puisi-puisi
tersebut merupakan anadalan sekaligus sejarah kepenulisan. Saat masa di mana
saya menulis puisi dengan energi yang besar, pikiran murni, dan memandang dunia
yang ajaib ini dengan perspektif yang sangat polos. Namun dibalik kepolosan
itu, kekuatan awal puisi saya tidak pernah mampu saya tulis kembali.
Puisi-puisi itu raib bersama laptop, flashdisk, dan surel yang telah dibekukan
oleh Yahoo,” jawab Mutia Sukma.
Sukma tentu bahagia
meski dalam beberapa hal. Pertama, ia
tahu karyanya benar-benar dibaca dengan sungguh-sungguh dengan orang lain,
sebab kekhawatiran Sukma mula-mula yakin menerbitkan buku puisinya, adalah
takut tidak memiliki pembaca. Kedua, Sukma
merasa tersanjung karena bukunya diapresiasi, apalagi masuk dalam short list KSK, ajang penghargaan sastra
bergengsi di Indonesia yang selama ini ia perhatikan.
Sukma sendiri telah
bersinggungan dengan puisi sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebab
sedari SD, Sukma sudah mendapatkan juara di bidang pembacaan puisi. Seingat
Sukma, pada saat ia SD dan SMP, ia tidak pernah menemukan lomba penulisan
puisi. Saat SMA, ia baru mulai intens menulis puisi. Sukma mulai menyadari
bahwa ia memiliki bakat menulis puisi ketika ia duduk di bangku kelas X SMA.
“Saat itu, saya dan
seorang teman dihukum untuk diinterogasi di depan kelas. Guru tersebut merasa
bahwa puisi yang kami buat dituduh menjiplak karya orang lain karena dianggap
terlalu bagus untuk ukuran remaja semasa itu. Satu teman saya terbukti menyadur
lagu Iwan Fals dan saya terbebas dari kecurigaan, sebab memang puisi tersebut
karya saya sendiri,” jawab Sukma melalu Whatssap.
Di masa-masa awal
menulis, Sukma banyak belajar dari bahan bacaan di rumahnya. Di rumah, ia
membaca Kompas Minggu dan di sekolah
ia membaca majalah Horison.
Berkali-kali pula Sukma membaca buku Belajar
pada Sastrawan Dunia.
“Tidak memiliki guru,
tentu membuat saya tidak efektif terhadap bacaan. Semua buku-buku yang ada di
Shopping (nama pasar buku di Yogya) saya baca. Dari buku Fira Basuki hingga Abu
Nawas. Apa saja yang ada di sana saya beli berdasarkan rekomendasi penjual. Majalah
Gadis dan Hai adalah bacaan wajib saya tiap Minggu,” ucap Sukma.
Mimpi menjadi penyair? Sukma
pun tidak tahu, tetapi yang jelas, ia sangat mencintai sastra. Akan tetapi,
sejak kecil yang ia selalu berpikir bahwa ia akan menjadi dosen/guru yang juga
sekaligus penulis. Menjadi penyair bukanlah cita-cita, seakan Sukma yakin bahwa
jalannya memang demikian.
Pengalaman paling unik
tentang puisi bagi Sukma adalah
perjumpaan dengan teman-teman antardaerah dan antarnegara, baik
berkenalan secara nyata maupun melalui gagasan dan karya. Sementara penyair
yang digemari Sukma sangatlah dinamis: tidak ada spesifikasi menyukai siapa.
Selain menulis puisi, Sukma juga menulis esai dan makalah. Bagi Sukma, waktu
yang paling pas menulis puisi adalah ketika gagasan tema sudah matang dalam
pikiran.
Jika diamati dengan
saksama, buku puisi Pertanyaan-Pertanyaan
tentang Dunia Mutia Sukma dan Pledoi
Malinkundang Indrian Koto terdapat kesamaan, yakni buku puisi itu dibuat
dalam tiga bagian yang masing-masing terdiri atas beberapa puisi. Menurut Sukma
karena proses pembuatan buku ini bersamaan, maka secara teknis memiliki
kesamaan.
Buku puisi Pertanyaan-Pertanyaan tentang Dunia mengisahkan
perspektif seorang remaja memandang dunia, seorang perempuan dewasa memandang
dunia, dan seorang ibu yang memandang dunia. Bisa jadi, puisi-puisi ini
merupakan suara pribadi Sukma atau mewakili suara sebagian orang. Selain itu, puisi-puisinya
merupakan sejarah di zaman sekarang sebagaimana puisi-puisi penyair lainnya.
Saat puan.co menanyakan
seberapa penting keberadaan perempuan di Sastra Indonesia? Sukma menjawab
“Karena saya bukan
aktivis gender, tentu posisi perempuan menjadi penting sebagaimana posisi
laki-laki. Setiap individu memberikan keunikan tersendiri dengan corak karyanya
masing-masing untuk sastra Indonesia tanpa membeda-bedakan apa jenis
kelaminnya.”
Banyak penulis
perempuan yang berhenti menulis karena terjebak rutinitas. Tentu itu berlaku
untuk siapa saja. Namun, Sukma mencoba menjaga ritme dengan rutin membaca dan
menciptakan iklim produktif. Meski tidak setiap waktu ia bisa berada di depan
laptop, tetapi ia selalu menstok bahan
bacaan di tempat-tempat yang terlihat dari pandangannya.
Kisah
Cinta dan Romantika Masa Lalu yang Berkelindan
Ketika duduk di bangku
SMA, Sukma pernah membacakan puisi di
mimbar penyair muda di Taman Budaya Yogyakarta. Kebetulan, Koto menjadi panitia
acara tersebut. Namun, saat itu mereka belum saling memperhatikan. Ketika itu
pula, Sukma remaja pernah menjadi fasilitator di program penulisan sebuah
penerbit, yang ternyata Indrian Koto juga ada di acara tersebut. Namun, mereka
belum saling bertemu dan berikrar janji.
Hingga saat masuk
kuliah, Sukma dan Koto mulai memasuki lingkungan yang sama meskipun mereka
tidak kuliah di kampus yang sama. Sukma sangat senang memiliki teman berbagi,
ia juga bisa mendapatkan buku-buku bagus koleksi Koto. Dari situlah mereka
menjalin cinta selama delapan tahun hingga memutuskan menikah.
Di rumah, tentu Koto
bukan hanya seorang suami, melainkan juga teman diskusi yang baik. Koto sangat
tekun membaca dan update buku-buku
bagus. Sukma yang mulai sibuk dengan urusan rumah tangga, tak lekas pula
melupakan aktivitas membaca dan menulisnya sebab mengimbangi aktivitas
suaminya. Seandainya saja Sukma menikah dengan orang lain, barangkali Sukma
akan tenggelam dalam urusan rumah tangga saja.
Hingga saat ini Sukma
sedang mengandung anak keduanya. Anak pertamanya – Rinai Yasmin – tidak pernah
diarahkan oleh mereka untuk menjadi penyair. Memang Rinai sangat menyukai buku,
di usianya yang belum 2,5 tahun, Rinai adalah pembaca yang serius. Rinai menghapal semua cerita di buku yang ia
baca. Rinai sudah mengetahui huruf A – Z karena membaca buku bergambar yang
disertai dengan huruf.
Sukma dan Koto tidak
pernah memaksa Rinai untuk membaca. Mereka dengan sukarela memperlakukan buku
seperti anak-anak yang pada umumnya bahagia dengan segudang mainannya. Harapan
ke depannya, Rinai bisa mencintai buku seperti kedua orang tuanya. Menjadi apa
pun nantinya, ia sudah dibekali dengan pengetahuan yang didapatkan dari buku
bacaan.
Indrian
Koto – Bos JBS yang Kreatif
Indrian Koto adalah
penyair sekaligus cerpenis asal Sumatra Barat yang sekarang berdomisili di
Yogyakarta. Karena kecintaannya terhadap buku, Koto mengambil jalan berbeda
dari kebanyakan sastrawan Indonesia, yakni dengan mendirikan Toko Buku JBS.
Hampir di setiap akhir tahun, Koto seringkali mengadakan kegiatan diskusi buku
bersama para penulis dari Sabang hingga Merauke dengan tema “Tahun Baru di JBS”.
Satu hal yang membuat saya susah lupa, yakni Desember 2016 Beliau bertanya apakah saya dan kekasih akan berkunjung ke Yogyakarta? Kami tidak mengiyakan sebab kami masih meragukan kondisi kantong. Maksud Indrian Koto adalah kalau saya jadi ke Yogya, maka saya akan dibuatkan jadwal untuk berdiskuis (jadi bintang tamu katanya). walhasil, kami berangkat ke Yogyakarta diam-diam tanpa sepengetahuan Sukma dan Koto. jadwal bintang tamu di JBS sudah tertulis. niat saya waktu itu memang hanya ingin jadi penonton belaka. Sebab tiba-tiba saja kami dapat rezeki sehingga kami mendadak meninggalkan Jambi dan terbang ke Yogyakarta. Setelah sampai sana kami mengabari Indrian Koto. betapa terkejutnya saya ketika diminta mengisi acara sebagai narasumber untuk menggantikan penulis Jakarta yang tidak hadir. baiklah saya menyanggupi. malamnya saya mendadak naik panggung tanpa persiapan apa pun. Dipandu oleh Asef Saiful Anwar dan didampingi dua bintang tamu lain, Berto Tukan dan Abuwafa. sungguh, ini pengalaman tak terlupakan,
Baiklah,mari meninggalkan ingatan masa lalu. Saya pun mewawancarai Koto
melalui surat elektronik. Tanpa berlama-lama lagi, simak wawancara saya bersama
Indrian Koto ya! Barangkali wawancara berikut bisa mengusir kesepian dan
kesendirianmu, atau setidak-tidaknya, mungkin bisa memberimu perspektif baru
tentang dunia sastra dari sudut pandang Indrian Koto yang aduhai.
1. Sudah
berapa kali mengadakan acara “Tahun Baru di JBS”, Bang? Tujuannya apa? Idenya
dari mana?
Kalau tahun ini jalan berarti yang kelima. Saya
ingin ada momen berkumpul bersama teman-teman penulis dan pencinta buku. JBS
ini, meski toko buku, tetapi maunya jadi
semacam komunitas, wadah untuk penulis dan
pembaca. Jadi kita bikin acara kecil-kecilan, tidak formal, mengajak
penulis yang notabene teman-teman sendiri untuk berbagi pengalaman mereka
dengan pembaca dan para penulis generasi di bawah mereka. Ya, cara ini memang
dibuat untuk berbagi saja. Sekaligus kami memberikan diskon yang lebih kepada
pembeli pada acara berlangsung. Kami juga mengajak beberapa penerbit rekanan
untuk mau menitipkan buku mereka untuk dipajang dan diberi diskon pada acara
tersebut.
2.
Tanggapan
masyarakat tentang kegiatan di JBS?
Saya kurang tahu. “Tahun Baru di JBS” saya kira
masih sangat kecil skalanya. Belum ada apa-apanya dengan pameran buku lainnya.
Cuma sejak awal, ini kan hanya alternatif. Jadi, ukuran kami adalah seberapa
banyak orang baru yang datang pada saat acara berlangsung. Saya ingin ruang
yang kecil ini bisa menjadi sebuah tawaran baru dari pameran buku pada umumnya,
karena peran buku yang dipajang berimbang dengan kegiatan yang kami rencanakan.
Meski pengungjung yang datang tidak selalu memuaskan di setiap sesi diskusi,
ini menjadi semacam pilihan untuk mennaggung risiko dan konsekuensi.
3.
Sejak
kapan menulis puisi dan cerpen? Lebih suka menulis yang mana? Lebih mudah
menulis yang mana?
Saya menulis cerita sejak SD karena terpengaruh
kakak saya yang punya buku tulis, yang menjadi novel tulis tangan, serta buku
yang semacam bunga rampai yang berisi gado-gado tulisan. Saya mengikuti
tulisannya sampai SMA. Saya punya semacam catatan harian dan kumpulan tulisan
tangan karya sendiri di buku tulis yang saya beri nama Teratai. Teratai ini
lebih dari sekadar diary karena saya
menulis puisi, cerpen, dan pandangan-pandangan saya di dalamnya. Setelah saya
tulis, biasanya akan dibaca teman-teman sekolah. Sejak SD kalau liburan sekolah
selalu ada teman yang memberikan buku tulis kosong pada saya untuk ditulisi apa
saja.
Saat SMA saya berhenti melakukannya sebab buku-buku
yang saya tulis tersebut untuk teman saya, sehingga saya jadi tidak punya
dokumentasi pribadi. Lalu jadilah Teratai
itu, buku 120 halaman, yang kalau tidak
salah ada belasan jilid berisi tulisan tangan saya. Saya heran, kok ada satu-dua
teman, yang mau membaca dan bisa membaca tulisan saya yang jeleknya setengah
mampus itu. Untuk menulis serius, saya lakukan setelah di Jogja sejak 2004.
Bertemu orang baru yang punya minat yang sama itu menarik.
4.
Sebutkan
judul buku beserta tahun dan penerbit yang memuat puisi dan cerpen Bang Koto!
Saya tidak ingat persis. Akan tetapi, umumnya pada
masa-masa awal belajar menulis, kita seringkali tergoda ikut antologi bersama
dan mengikuti lomba penulisan yang paling tidak karya kita akan dibukukan. Saya
termasuk orang yang begitu di masa-masa awal belajar saya.
Untuk publikasi pertama di media, saat saya SMA. Ada sebuah majalah sekolah yang digagas Yusrizal KW dan kawan-kawan. Puisi saya dimuat di situ dan hebohnya setengah mati. Ya saya, ya teman-teman saya.
Untuk publikasi pertama di media, saat saya SMA. Ada sebuah majalah sekolah yang digagas Yusrizal KW dan kawan-kawan. Puisi saya dimuat di situ dan hebohnya setengah mati. Ya saya, ya teman-teman saya.
5.
Prestasi
Bang Koto dalam menulis apa saja?
Tidak banyak. Saya ini nyaris tanpa prestasi. Untuk
lomba penulisan, saya ikut beberapa kali dan menang beberapa kali. Untuk forum
sastra, saya orang yang berusaha menghindarinya. Prestasi terbesar saya sejauh
ini, saya bisa menulis lagi.
6.
Kapan
waktu yang tepat menulis puisi bagi Bang Koto?
Nyaris tidak ada waktu
spesial. Periode sebelum menikah jelas semua waktu baik untuk menulis. Setelah
menikah dan punya anak, biasanya menuangkan ide lebih pas di pagi hari sebelum
aktivitas rutin dimulai.
7.
Bagaimana
karakter puisi Mutia Sukma di mata Bang Koto?
Puisi Sukma polos dengan perspektif anak-anak. Saya
menyukai puisi-puisi awal Sukma sedemikian rupa, meski tidak banyak yang masuk
ke antologi puisi pertamanya.
Puisi-puisi Sukma berikutnya saya kira banyak percobaan. Sebab ia punya perspektif baru dan coba ia tuangkan dalam puisi-puisinya. Saya juga begitu. Saat ini, kami: saya dan Sukma, belum berada dalam posisi nyaman dalam menulis. Kami mash mencoba melakukannya. Kami masih sering berdiskusi.
Puisi-puisi Sukma berikutnya saya kira banyak percobaan. Sebab ia punya perspektif baru dan coba ia tuangkan dalam puisi-puisinya. Saya juga begitu. Saat ini, kami: saya dan Sukma, belum berada dalam posisi nyaman dalam menulis. Kami mash mencoba melakukannya. Kami masih sering berdiskusi.
8.
Siapa
jagoan Bang Koto dari 5 bsar KSK? Menjagokan diri sendiri, Sukma, atau siapa?
Semua bagus, semua nyaris punya kesempatan yang
sama. Saya menjagokan semua, kecuali buku saya sendiri. Saya tidak punya rasa
percaya diri berkaitan dengan karya saya. Saya masih belajar dan ingin memperbaikinya.
Saya tidak bisa menilai karya saya, karena itu sangat subjektif. Tentu saya
juga ingin hadiahnya, meski menang pun tak akan membawa banyak pengaruh
terhadap diri saya dan pandangan orang terhadap karya saya.
9.
Penyair
atau penulis yang disukai Bang Koto?
Saya menyukai banyak penyair sekaligus punya alasan
untuk tidak menyukainya. Dalam proses belajar, saya kira sah-sah saja. Kalau
saya mencintai sungguh-sungguh satu penyair, saya takut masuk perangkapnya dan
bisa-bisa menjadi epigonnya. Jika tidak menyukai karya penyair tertentu, karya
mereka bagus-bagus, saya bisa belajar banyak dari mereka.
Saya keluar-masuk ke dalam karya banyak penulis. Mencari sisi bagus dari karyanya, sekaligus mencari bolongnya agar suara saya bisa hadir di situ.
Saya keluar-masuk ke dalam karya banyak penulis. Mencari sisi bagus dari karyanya, sekaligus mencari bolongnya agar suara saya bisa hadir di situ.
10. Yakin menang ga sih bang di KSK?
Kalau menang uangnya buat apa?
Saya tidak ada bayangan bisa menang. Sejak awal saya
dan istri menduga, bahkan tidak akan ada nama kami di list sepuluh besar itu. Saya pribadi orang yang sering mencereweti event besar macam KSK, bahkan sekarang
pun masih. Saya merasa dalam sastra Indonesia, saya tidak ada apa-apanya. Saya
juga tidak mengharapkan pengakuan apa-apa. Buku puisi Pleidoi Malin Kundang juga tidak terlalu diminati, seperti penyair
lain yang bisa cetak ulang berkali-kali.
Sejak awal saya tidak punya target apa-apa terkait sastra. Saya mencintai sastra dan tidak berharap meminta apa-apa lagi dari sana. Saya sudah cukup banyak diselamatkan oleh tulisan, saya kira sastra sudah memberi banyak untuk saya. Saya yang nyaris belum melakukan apa-apa. Publik sastra pun saya kira tak bisa berharap banyak dari puisi-puisi saya. Namun jika ada yang menyukainya, tentu saya bahagia sebab ada yang bisa merasakan suara saya. Uang itu selalu berguna dan pula senantiasa tidak pernah cukup.
Sejak awal saya tidak punya target apa-apa terkait sastra. Saya mencintai sastra dan tidak berharap meminta apa-apa lagi dari sana. Saya sudah cukup banyak diselamatkan oleh tulisan, saya kira sastra sudah memberi banyak untuk saya. Saya yang nyaris belum melakukan apa-apa. Publik sastra pun saya kira tak bisa berharap banyak dari puisi-puisi saya. Namun jika ada yang menyukainya, tentu saya bahagia sebab ada yang bisa merasakan suara saya. Uang itu selalu berguna dan pula senantiasa tidak pernah cukup.
11. Ceritain donk tentang rahasia buku
puisi Pledoi Malinkundang Bang Koto!
Kira-kira tawaran estetik bagaimana yang disajikan buat pembaca?
Buku itu berisi tiga bagian. Titik berangkat saya,
kampung halaman, perjalanan dan kelahiran baru saya. Itu garis besarnya. Saya
menulisnya nyaris tidak memikirkan pembaca. Puisi-puisi tersebut lebih sebagai
catatan dan pandangan saya terhadap peristiwa saya, lingkungan sekitar saya,
dan dunia sejauh yang saya pahami. Puisi saya mungkin tampak personal, tetapi
saya juga punya visi terhadap perubahan.
Kalau sekarang tentu puisi saya juga lebih
berkembang. Dan sumpah, mengumpulkan puisi menjadi buku adalah pekerjaan paling
berat di dunia. Sangat-sangat berat. Itu juga yang membuat saya tidak merasa
ada yang bolong, saat melihat daftar isinya. Sebagai buku pertama, saya kira
sudah cukup. Selebihnya pembacalah yang berhak menilai. Menakar bagus-tidaknya.
12. Mengapa buku pledoi wajib dibaca
dan dimiliki? Apa sih keunikannya?
Tidak wajib dimiliki
sih, tetapi perlu juga. Hahaha... Saat membaca buku ini, pembaca akan menjadi
tahu pandangan saya. Kalau tidak membaca buku ini kita tidak akan saling kenal.
Pilihannya mau tahu atau tidak?
13. Tips menulis puisi ala Bang Koto!
Membaca. Saya tidak bisa menulis puisi jika tidak
memulai dengan bacaan. Itu pintu masuk saya dan sejauh ini memang begitu.
14. Bagaimana kita mengembalikan mood menulis saat mood itu hilang?
Saya kira ini problem semua penulis. Dan itu
tantangannya, ujian terberatnya. Saya nyaris menjadi bagian dari sekian banyak
orang yang pernah menulis dan dilupakan karena mood sialan itu.
15. Bagaimana sastra Indonesia hari ini
di mata Bang Koto?
Sastra Indonesia bagus dan baik-baik saja, tentu
juga mencemaskan. Banyak penulis bagus yang muncul. Banyak penulis lama yang
bagus tetap bagus dan makin bagus. Tentu banyak pula penulis buruk yang lahir,
menghasilkan karya tidak bagus, dengan motivasi yang kurang oke. Begitulah.
Saya mungkin, mungkin loh, ada di posisi melahirkan karya yang tidak
bagus-bagus amat (meski menurut saya tentu selalu baik) tetapi selalu mencoba
untuk tahu diri.
Sastra kita selalu heboh. Sejauh yang saya tahu
selalu begitu. Berlebihan memuji satu-dua karya tertentu atau sebaliknya, dan
mengabakan yang lainnya. Yang menarik, buku sastra terus lahir, terus dibeli,
dan dikoleksi dan dibicarakan di banyak tempat.
16. Puisi-puisi di Pledoi Malinkundang ditulis dari tahun berapa sampai tahun berapa?
Puisi yang paling berkesan yang berjudul apa?
Sekitar periode 2006 – 2011. Saya membatasi sampai
di situ. Buat saya semua nyaris berkesan. Itulah sebabnya saya susah memilih
puisi untuk dikumpulkan dalam buku ini. Ada yang bagus menurut saya, tetapi
memang tidak masuk ke dalam buku ini. Selain karena alasan tema dan hal
pribadi, saya juga dokumentator yang buruk.
17. Persepsi Bang Koto tentang puisi?
Puisi adalah media untuk memandang semesta. Menengok
masa lalu untuk dirindukan dengan harubiru atau menolaknya. Sekaligus memandang
hari ini dan masa depan. Puisi itu pikiran, yang sewaktu-waktu bisa berkembang
atau menyempit. Puisi itu media saya, dan nyaris satu-satunya. Puisilah yang
mahatahu tentang saya selain Tuhan dan segala perangkat-Nya.
18. Apakah menjadi penulis adalah
cita-cita?
Puisi dan sastra secara umum itu minat saya. Cinta
saya. Saya tidak punya alasan untuk meninggalkannya dan punya puluhan
kemungkinan untuk terus menyuntukinya.
19. Mengapa Bang Koto suka menulis? Ada
keterununan dari keluarga penulis atau bagaimana?
Suka itu susah didefenisikan. Tidak ada alasan untuk
tidak menyukainya. Saya tidak tahu soal turunan itu. Akan tetapi, saya kira
memang ada bakat di situ. Bakat alam. Jadi saya bukan penyair yang banyak paham
soal teori. Puisi itu rumit, karena itu pula saya mencintainya.
20. Pesan buat pembaca!
Beli bukunya dan baca ya! Puji-pujilah di media sosial
meski kamu agak berdusta mengenai itu. Hahahaha..
Tidak, tidak. Saya hanya bercanda. Pesan saya:
belilah buku sastra di Jual Buku Sastra.
Ah, saya bercanda lagi.
Ah, saya bercanda lagi.
Hal yang paling
teringat usai berkunjung ke JBS beberapa bulan silam adalah ketika eks
moderator abadi JBS – kekasih saya – bertanya,” Kamu tidak minta foto kepada mereka
berdua?” sambil tersenyum saya menjawab, “Saking asyiknya ngobrol memang bisa
lupa diri, namun yang terpenting dari sebuah pertemuan bukanlah foto bersama,
melainkan perbincangan yang akan selalu terkenang dalam ingatan.” Motor kami
melaju ke arah Kasihan Bantul menuju warung Bali milik seorang teman, Ni Komang
Ira Puspita. Ah, saya jadi ingin ke Yogya lagi.
Catatan: Tulisan Rini Febriani Hauri ini pernah dimuat di puan.co tanggal 23 Oktober 2017, namun dalam versi blogspot, beberapanya saya ubah dan saya panjangkan. Sila klik http://puan.co/2017/10/sepasang-puisi-dari-gang-semangat/
Komentar
Posting Komentar