Kappa adalah novel yang ditulis oleh Ryuunosuke Akutagawa pada
1927. Novel ini mengisahkan tentang lelaki gila berusia tiga puluh tahun –
penghuni kamar no. 23 sebuah rumah sakit jiwa di Jepang yang bercerita kepada
sang dokter bahwa ia pernah bertemu Kappa. Tokoh di dalam cerita ini tidak
diberi nama, namun memakai sudut pandang orang pertama “Aku”. Kappa adalah
sejenis amfibi yang memiliki tempurung seperti kura-kura dan bermoncong
panjang. Di dalam Folklor Jepang, Kappa dipercayai ada. Kappa juga mirip
seperti bunglon. Ia dapat berubah warna sesuai warna tempat di sekitarnya.
Tokoh Kappa digambarkan sebagai makhluk kerdil dengan kecedasan yang melebihi
manusia, namun memiliki moral yang jauh lebih rendah daripada manusia.
Kappa yang diceritakan oleh
Akutagawa banyak berisi nada-nada satire yang penuh dengan kritik sosial.
Barangkali sisi kehidupan inilah, dunia yang sebenarnya diidam-idamkan oleh Akutagawa.
Sejatinya, Kappa tersebut merupakan
alegori terhadap gambaran masyarakat Jepang di era 1920-an yang sebagian
besar isinya adalah penolakan-penolakan Akutagawa terhadap realitas atau bisa
dikatakan dunia di dalam Kappa adalah kebalikan dari dunia manusia. Meski, pada
beberapa hal, ada juga kemiripan dengan kehidupan di dunia – khususnya
Indonesia – atau bahkan semacam ramalan yang akan terjadi di dunia, bahkan Indonesia.
Fenomena dunia yang terbalik
dalam dunia Kappa atau penolakan terhadap realitas Akutagawa, dibuka dengan
cerita saat tokoh Aku yang hendak mendaki Gunung Hodaka, ia melihat Kappa dan
hendak menangkapnya, namun kenyataannya malah ia yang ditangkap oleh Kappa dan
dibawa ke dunia para Kappa melalui lubang yang memancarkan cahaya. Para Kappa
menjelaskan bahwa banyak kaum manusia yang sudah ia tangkap (dijadikan
peliharaan) dan tidak mau pulang ke dunia manusia karena merasa nyaman. Padahal
kenyataannya, manusia bukanlah makhluk yang lemah – yang bisa dengan mudahnya
ditangkap oleh hewan sekelas amfibi – biasanya, malah segelintir manusialah
yang menangkap binantang – juga memelihara binatang dengan kasih sayangnya.
Kedua, penolakan terhadap kelahiran bisa dilakukan oleh calon bayi Kappa.
Saat Ibu Kappa hendak melahirkan, sang ayah memegang perut istrinya sambil
menanyakan apakah bayi Kappa tersebut mau dilahirkan ke dunia atau tidak. Pada
Bagian IV, bayi Kappa mengatakan bahwa ia tidak mau dilahirkan karena tidak
ingin mewarisi kegilaan orang tuanya yang mengerikan sehingga tiba-tiba perut
Ibu Kappa mengempis dan bayinya hilang entah kemana. Di kehidupan nyata, bayi
yang akan dilahirkan tidak bisa menolak takdirnya untuk dilahirkan. Saya
curiga, hal ini merupakan pemberontakan Akutagawa yang merasa menyesal dilahirkan
sebagai manusia karena memiliki ibu yang gila sehingga semasa hidupnya, Akutagawa
dibesarkan oleh bibinya. Juga saat digambarkan seekor Kappa penyair – Tock – yang
bunuh diri merupakan potret masyarakat jepang yang mudah bunuh diri ketika
depresi. Bunuh diri di kalangan masyarakat Jepang sendiri adalah hal yang
biasa. Tidak sedikit penulis-penulis
Jepang ternama yang mati bunuh diri, sebut saja dua sahabat karib: Yukio Mishima
dan Yasunari Kawabata. Juga Ryuunosuke Akutagawa sendiri yang mengakhiri
hidupnya sendiri di usia 35 tahun.
Ketiga, Di dunia Kappa, betina-betina Kappa sangat mendominasi. Anggota
dewannya kebanyakan Kappa betina. Dalam permasalahan cinta, Kappa jantan sampai
sembunyi karena takut dikejar-kejar Kappa betina yang agresif. Selain itu, gara-gara Kappa betina putus cinta dengan
seekor Berang-Berang, Kaum Berang-berang menyerbu dunia Kappa (perang dunia
antarhewan). Kappa jantan juga sangat tunduk terhadap betinanya, seperti si
Kapitalis Gael – ia memang menguasai petinggi parpol yang sedang naik daun – juga
menguasai petinggi beberapa media cetak. Meskipun begitu, ia lebih dikuasai
istrinya. Seorang pendeta di dunia Kappa juga menceritakan bahwa Kappa pertama
yang diciptakan adalah Kappa betina. Sementara di dunia nyata, khususnya negara
kita, meskipun feminisme telah ada, tetap saja kaum wanita yang ada di parlemen
tidak sebanyak di dunia Kappa. Juga dalam sejarah, belum ada gara-gara
perempuan, negara kita lantas perang terhadap negara lain.
Keempat, masalah penamaan. Dalam dunia Kappa, nama-nama tokohnya
paling banyak dua suku kata, namun didominasi satu suku kata. Bag si Kappa petani, Chrack si Kappa dokter, Lab si mahasiswa, Mag si filsuf, Hakim Pep,
sang musikus Craback, si kapitalis Gael, dll. Coba bandingkan di dunia
manusia! jarang sekali kita menemukan nama yang demikian singkat. Kelima, Di dunia nyata, para lelaki
kebanyakan lebih tertarik mencari teman hidup yang cantik untuk memperbaiki
keturunan. Di dunia Kappa justru berbeda. Lihat saja cuplikan spanduk di dunia Kappa
hlm.17 berikut ini yang penuh satire!
KALAU ANDA KAPPA YANG SEHAT,
KAWINLAH DENGAN KAPPA YANG KURANG SEHAT UNTUK MELENYAPKAN KEJAHATAN-KEJAHATAN
KETURUNAN!
Keenam, Jika di kehidupan manusia ada banyak jenis keyakinan, maka
agama di dunia Kappa bernama modernisme.
Yang mereka sembah adalah pohon kehidupan yang terdiri atas pohon kebaikan
(berwarna emas) dan pohon kejahatan (berwarna hijau). Orang-orang suci dalam
agama mereka adalah orang-orang yang memuja dunia – yang patungnya dipajang di sepanjang
kuil-kuil suci yang boleh dimasuki siapa saja. Misalnya, Strindberg, Tolstoi,
Wagner, Nietzsche, dan Dappo Kunikida. Makhluk Kappa memang sangat memuja
kehidupan dunia, berbeda dengan manusia beragama yang lebih percaya pada
ilahiah dan kehidupan di akhirat.
Keunikan cerita sangatlah
menarik, hanya saja karena buku terjemahan ini dulu pernah diterbitkan PT
Pustaka Jaya pada 1975, setelah dialihkan ke KPG tampaknya langsung dicetak
saja tanpa ada editor atau penyelia bahasa. Kentara sekali bahasa-bahasa pada
zaman tersebut yang kini sudah mengalami perubahan masih ada. Padahal, bahasa
bersifat dinamis. Alangkah baiknya dari pihak KPG mengedit naskah kembali
sebelum terbit.
Selain penolakan Akutagawa
terhadap realitas, ada juga gambaran masyarakat Jepang pada 1920, yakni saat
Craback melakukan konser musik kemudian dibubarkan oleh pihak kepolisian. Pameran
lukisan dan hasil-hasil karya serupa sering juga demikian. Benarlah ketika Tock
– Kappa penyair – berkata, “Seni tidak boleh diganggu oleh aturan-aturan
kehidupan mana pun. Seni hanyalah untuk seni. Karena itu, Kappa mesti menjadi
superkappa dan berada di atas segala-galanya, termasuk nilai-nilai baik dan
buruk.”
Membaca sosok penyair Tock, saya
kemudian teringat Frederich Nietzsche, filsuf sekaligus penyair asal Jerman
yang menciptakan konsep ubermensch ‘sang adimanusia/ manusia supper’. Manusia
yang melampaui baik dan buruk sebagaimana supperKappa
yang diceritakan Tock. Kisah lain tentang persaingan antar seniman. Juga seniman
yang antikritik dijelaskan pada sosok Craback – yang hingga masa kini
sosok-sosok semacam itu masih bisa ditemui di mana saja.
Ketika Akutagawa memunculkan tokoh
Mag – Kappa Filsuf – saya juga menemukan sosok Nietzsche. Dalam buku Kata-kata
si Tolol karangan Filsuf Mag, isinya berupa aforisme-aforisme persis aforistik khas
Nietzsche pada bukunya Beyond Good and
Evil dan Senjakala Berhala-Berhala
dan Anti Krist. Barangkali Dendam Nietzsche terhadap realitas, penolakannya
terhadap ilahiah, dan dunia bayang-bayang yang ia kisahkan sangat menginspirasi
Akutagawa sehingga sosoknya juga dijadikan salah satu orang suci di kuil para Kappa.
Hal lain yang sangat mencerminkan masyarakat timur juga dibahas Akutagawa pada
Bagian lima belas. Akutagawa mengisahkan Perkumpulan Penelitian Kebatinan yang
meneliti arwah roh. Hal ini jelas menggambarkan adat ketimuran yang hingga kini
masih percaya pada takhayul.
Akutagawa juga memunculkan
kejahatan kapitalisme melalui sosok Gael. Hampir setiap tahun, Setelah ia
memakan daging karyawannya, ia lalu memecat 40 – 50 ribu karyawannya. Setiap
tahun ia membeli 700 – 800 mesin barus untuk mencetak buku di perusahaannya
sehingga ia tidak membutuhkan tenaga Kappa lagi. Inilah gambaran masyarakat
Jepang pada 1920-an. Para Kappa yang dipecat secara massal pun tidak melakukan
aksi mogok seperti manusia. Saya kemudian mengingat Filsuf Posmodernisme – Jean
Francois Lyotard – mengenai gagasannya tentang Nirmanusia. Bahwa Lyotard sangat curiga para manusia akan
didehumanisasikan oleh kekuatan-kekuatan perkembangan kapitalisme lanjut, yakni
sebuah ramalan di mana tenaga robot akan lebih dipercaya daripada tenaga
manusia. Bisa jadi, pelan-pelan – hal ini akan juga terjadi di Indonesia.
Novel yang terdiri atas tujuh
belas bagian ini memang sangat tipis, namun cerita di dalamnya memberikan kita
banyak pelajaran bahwa hidup tidak harus selesai sampai di sini saja.
Judul Buku : Kappa
Penulis : Ryuunosuke Akutagawa
Penerjemah : Winarta Adisubrata
Penerbit : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan : Pertama, Juni 2016
Tebal Halaman : 83 halaman
Catatan: Tulisan Rini Febriani Hauri ini pernah dimuat di puan.co tertanggal 24 Agustus 2017
Komentar
Posting Komentar