Langsung ke konten utama

RESENSI 12 : Indikator Kebahagiaan Hidup Menurut Leo Tolstoy




Novel yang berjudul asli Semeynoye Schast’ye  telah diterjemahkan dalam banyak bahasa. Pertama kali terbit di Indonesia pada tahun 1976. Kisah dalam novel ini dibuka dengan meninggalnya ibu Masha dan Sonya, lalu dalam menjalani hari-hari ke depan di desanya, mereka tinggal bersama kakeknya Gregory tua dan wanita pengasuh bernama Katya- yang telah dianggap sebagai ibu oleh Masha dan adiknya.

Novel ini terdiri atas dua bagian. Bagian pertama terdiri atas lima bab mengisahkan kehidupan Masha (Marya Alexandranova) sebelum menikah, gadis 17 tahun, jatuh cinta kepada sahabat almarhum ayahnya bernama Sergey Mikhailich, bujangan tua berusia 36 tahun, yang pada saat itu menjadi walinya. Pada setiap kunjungannya, Sergey seringkali menasihati dan membimbing Masha yang jauh dari kata dewasa. Masha yang kala itu butuh pegangan merasa utuh dengan kunjungan rutin Sergey.

Hingga pada saat Sergey tak datang ke rumahnya, Masha merasa sepi dan sendiri. Ia pun kemudian menyadari bahwa ia telah jatuh cinta kepada Sergey, lelaki dewasa yang jauh dari gambaran lelaki impiannya. Ternyata diam-diam, Sergey juga telah lebih dulu mencintai Masha. Akhirnya, sosok sergey yang digambarkan begitu kaku, dingin, dan datar berhasil juga mengungkapkan perasaannya kepada Masha. Kemudian mereka bertunangan dan menikah. Tentu saja kebahagiaan ini bukan hanya milik mereka berdua semata. Dua pihak keluarga hingga ke pelayannya pun turut berbahagia.

Sementara bagian kedua terdiri atas tiga bab, Tolstoi mengisahkan kehidupan Masha dan Sergey pascamenikah. Masha tinggal bersama suami, ibu mertua, dan para pelayannya. Di bagian kedua ini, Katya dan Sonya hanya dimunculkan di bab terakhir saja. Kebahagiaan Masha sebagai seorang istri membuatnya pasrah terhadap kehidupan, yakni ia rela berusaha melakukan apa saja demi kebahagiaan suaminya. Masha yang menikah muda masih labil dan keras kepala meski belum banyak memiliki pengalaman hidup.

Sebagai suami, Sergey memberikan kebebasan kepada istrinya dalam artian ia tidak ingin menguasai istrinya. Menurut Sergey ia tak memiliki hak untuk membatasi hak Masha untuk mendapatkan pengalaman sebanyak-banyaknya. Masha lantas salah paham sebab merasa tidak dikendalikan oleh suaminya. Tadinya ia berpikir dalam sebuah pernikahan, seorang istri berada di bawah kekuasaan suaminya.

Demi pekerjaannya, Sergey seringkali pergi ke kota dan meninggalkan Masha. Suatu ketika, Masha dan Sergey menginap seminggu ke Moskow. Kemudian ia  hijrah lagi ke St. Petersburg. Fenomena urban yang dialami Masha merupakan kritik sosial Tolstoi. Kebanyakan memang orang-orang desa yang berpindah ke kota akan merasa betah dan tidak mau pulang lagi ke desanya. Gejolak inilah yang kemudian dialami Masha. Kebahagiaan rumah tangganya lantas teracam dan terguncang karena Masha yang rendah hati menjadi masyur di kalangan para bangsawan kota tersebut. Namun, ia jadi gila pesta – suatu keadaan yang hampir tak pernah ia temukan di desanya. Saat Sergey dan anak lelakinya pindah ke desa, Masha masih tetap berada di kota hingga ia menyadari kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Masha memutuskan pulang ke desa menemui Sergey suaminya.

Novel yang menggunakan sudut pandang aku sebagai Masha ditulis dalam bahasa yang mengalir dan mendalam. Namun, sarat dengan bahasa yang mendayu-dayu sehingga mampu menyeret-nyeret perasaan, mengaduk-aduk hati, dan mengiris emosi yang terkadang menyayat. Sebagai penulis lelaki yang menonjolkan tokoh perempuan, Tolstoi sangat pandai menggambarkan perangai Masha yang memang merupakan kegelisahan para perempuan muda yang haus akan cinta dan kasih sayang seorang lelaki dewasa. Tolstoi juga piawai dalam mengisahkan gagasan tentang keluarga yang baik dan keluarga yang buruk.

Cerita lebih banyak menonjolkan perasaan tokoh Aku juga diselipkan dialog antartokoh Sergey dan Masha yang begitu datar. Saya curiga bahwa kisah ini merupakan pengejawantahan dari pengalaman Tolstoi dan istrinya sebab ia menikahi istrinya pada saat usia mereka terpaut enam belas tahun.

Beberapa indikator penting agar Sahabat Puan memperoleh kebahagiaan hidup sebagaimana yang dikisahkan Leo Tolstoi dalam novelnya, antara lain hidup dalam kesederhanaan dan menjunjung tinggi humanisme meskipun kaya, rajin berdoa dan bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, menolong orang yang sedang dalam kesulitan, tak melulu memikirkan hasrat duniawi, mencintai dan dicintai oleh keluarga, menjaga kesetiaan hubungan, memiliki keturunan yang baik, lokasi tempat tinggal yang tenang, pembagian tanggung jawab dalam keluarga, berani meminta maaf jika melakukan kesalahan, tidak menghambur-hamburkan harta sesukanya, menjaga nama baik keluarga, dan hiduplah untuk membahagiakan orang lain! Indikator-indikator ini tergambar dalam kisah-kisah yang dialami oleh Sergey dan Masha dalam menjalani kehidupan.

Di bab sembilan sebagai penutup, Masha dan Sergey saling mencurahkan perasaan satu sama lain bahwa perasaan cinta seperti semula mereka bertemu sudah takada lagi. Namun, yang tersisa hanyalah rasa sayang dan komitmen dalam mempertahankan rumah tangga.

Bila cinta dalam sebuah pernikahan telah mati akibat mengalami beberapa penderitaan, resep bahagianya janganlah menyesali masa lampau! Sebab cinta yang telah mati takkan hidup kembali. Ingatlah pada komitmen awal pada saat tangan takdir menyatukan cinta antara kau dan dia. Lalu, wujudkan komitmen tersebut dan pertahankanlah rumah tanggamu sampai maut yang hanya mampu memisahkan!



Judul Terjemahan                : Rumah Tangga yang Bahagia
Penulis                                 : Leo Tolstoi
Penerjemah                          : Dodong Djiwapraja
Penerbit                                : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Cetakan                                 :  Pertama, Juli 2016
Tebal Halaman                     :  137 halaman

Catatan: Tulisan Rini Febriani Hauri pernah dimuat di puan.co tertanggal 09 Nov 17. Sila klik link http://puan.co/2017/11/indikator-kebahagiaan-hidup-menurut-leo-tolstoy/


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pepatah Jepang I

diambil dari catatan Facebook, 17 Agustus 2010         Pepatah dalam bahasa Jepang disebut kotowaza (ことわざ)salah satunya nih, iwanu ga hana いわぬ が 花 artinya, tidak bicara itu bunga, maksudnya  diam adalah emas. "Aite no nai kenka wa dekinu" artinya Orang tak bisa bertengkar tanpa musuh. "Shippai wa seikou no moto" artinya kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda "Hito no uwasa mo shici jyu go nichi"  (人の噂も七十五日) artinya, gosip/rumor hanya bertahan selama 75 hari alias gosip/rumor tidak akan bertahan lama.  "Sarumo ki kara ochiru" 猿も木から落ちる  artinya kera juga bisa jatuh dari pohon.  Sama artinya dengan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga "Baka mo ichi-gei" 馬鹿 も いちげい artinya, orang bodoh pun punya kelebihan/kebaikan "Arashi no ato, sora ni niji ga kakarimashita" artinya Badai pasti berlalu "Onna sannin yoreba kashimashii" artinya: di mana pun ketika ada t

Buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia

Oleh: Tri Wahyuni Zuhri Judul  : Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia Penulis : Kurniawan Junaedhie Penerbit : Kosa Kata Kita Jakarta Jumlah hlm. : 338 Tahun : 2012 Buku yang di tulis oleh Kurniawan Junaedhie dan di terbitkan oleh Kosa Kata Kita Jakarta, memang cukup banyak di cari. Terutama karena buku ini memuat sekitar 800-an lebih profil perempuan pengarang dan penulis Indonesia.  Sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran 1897, hingga Sri Izzati, pengarang kelahiran 1995. Dalam kata pengantar di buku ini, Kurniawan Junaeid menjelaskan alasannya membuat buku Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia.  Selama ini masih sedikit sekali buku  literatur yang menjelaskan sepak terjang perempuan pengarang dan penulis di Indonesia.  Sebut saja buku-buku tersebut antara lain Leksikon Kesustraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) di susun oleh Pemusuk Eneste, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang di su

Puisi-Puisi William Butler Yeats Terjemahan Rini Febriani Hauri

Ketika Kau Menua KETIKA kau menua, kelabu dan pengantuk, terangguk-angguk di dekat pendiangan, ambillah buku ini, bacalah pelan-pelan dan khayalkan pandangan matamu, yang dahulu lembut dan bayangannya yang dalam; betapa banyak yang  mengagumi saat-saat riangmu, dan mencintai kemolekanmu dengan cinta murni ataupun palsu tetapi seorang lelaki mencintai  kesalehan di dalam dirimu, dan mencintai kemurungan roman wajahmu yang silih berganti; sambil membungkuk di samping besi pendiangan yang berkilauan bara api bergumam, sedikit sedih, betapa cinta terbang dan melayang ke atas puncak gunung nun jauh di sana lalu menyembunyikan wajahnya di tengah kerumunan bintang-bintang 1919 Menjelang Fajar KEMBARAN mimpikukah ini? perempuan yang lelap terbaring di sisiku dan bermimpi ini, ataukah kami telah membelah mimpi dalam naungan kilauan dingin pertama hari ini? pikirku: ‘Ada air terjun di sisi Ben Bulben yang kusayang sepanjang masa kecilku;

Rise For Holiday