Bila mendengar kata “Orang Rimba” apa yang terlintas di benak Anda? Ternyata tidak semua Orang Rimba atau SAD (Suku Anak Dalam)
tinggal di hutan loh. Sebagiannya sudah menetap di permukiman bantuan
pemerintah sebagaimana Orang Rimba di Pulau Lintang. Mereka yang tinggal
di permukiman adalah yang telah kehilangan hutan. Hidup berumah dan
menetap laiknya orang modern, ternyata bukanlah mimpi buruk bagi mereka.
Nah, masih penasaran dengan kisahnya? Kali ini saya akan menceritakan
kisah perjalanan saya ke Pulau Lintang.
Suatu ketika, saya dan dua teman perempuan berkunjung ke Pulau
Lintang untuk keperluan riset. Pulau Lintang bukanlah sebuah pulau yang
berada di tengah laut, melainkan nama sebuah desa yang terletak di
Kecamatan Bathin VIII, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi. Dari Kota
Jambi ke Pulau Lintang perjalanan ditempuh dengan kurun waktu empat jam
saja. Kami pun berhenti di salah satu rumah masyarakat dusun yang sangat
dekat dengan permukiman Orang Rimba. Teman saya lalu menelpon Pak
Mustafa, Jenang orang rimba Pulau Lintang. Seorang “jenang” adalah
penghubung antara orang rimba dan masyarakat luar.
Pak Mustafa dan lelaki rimba telah menyiapkan dua motor, untuk masuk
ke dalam permukiman, kami harus melewati jembatan gantung yang sempit, juga
melalui jalan setapak yang kiri kanannya penuh hijau dedaunan pohon
karet. Saya dan teman saya pun dibonceng Pak Jenang di motor bebeknya.
Kalau istilah khas Jambinya tarik tigo atau bonceng tiga, sementara teman saya yang lain dibonceng lelaki rimba.
Yang paling menggetarkan saat perjalanan menuju ke dalam permukiman
adalah melewati jembatan gantung, sebab kami harus menanjak dengan
kemiringan sekitar lima puluh derajat. Pak Jenang melaju dengan kencang
dan kayu-kayu jembatan pun berirama laiknya menyambut kedatangan kami.
Jantungku semakin tak beraturan menghadapinya. Sungguh pengalaman yang
menegangkan.
Ditambah lagi saat melintasi jalan setapak beraspal yang ada
penanjakan dan penurunan yang lumayan curam. Saya yang ketika itu berada
di posisi tengah tak henti-hentinya berdoa agar perjalanan kamis
selamat sampai tujuan. Ya, jalan setapak menuju permukiman orang rimba
Pulau Lintang telah diaspal oleh pemerintah. Sangat berbeda dengan jalan
setapak menuju Makekal Hulu, Taman Nasional Bukit Duabelas.
Setibanya di sana, kami pun turun di depan gapura yang terbuat dari batang pohon. Di atas batang pohon itu tertulis Selamat Tiba Bahagoee Orang Rimba
yang artinya selamat datang di permukiman Orang Rimba. Sepintas, saya
heran sekaligus penasaran. Terdapat sederet rumah papan bercat putih
pemberian pemerintah. Kebetulan saat itu tumenggungnya sedang tidak ada.
Tumenggung adalah kepala rombong Orang Rimba.
Sepintas saya tidak percaya, apa benar dahulunya mereka adalah Orang
Rimba yang tinggal di hutan? Akibat ilegal loging, hutan yang dahulunya
mereka tempati menjadi habis. Mau tidak mau mereka harus menghadapi
persolan baru, yakni harus menghadapi masalah ekonomi dan masalah sosial
yang lain, seperti berinteraksi dan berkomunikasi dengan masyarakat
dusun. Seorang perempuan rimba yang akrab disapa dengan Induk
mengatakan bahwa biasanya pemerintah sering memberikan bantuan berupa
sembako satu kali dalam sebulan. Namun sudah tiga bulan ini, Orang
Rimba Pulau Lintang sudah tak lagi mendapat bantuan.
“Tentu bantuan itu sangat penting bagi kami. Karena pekerjaan suami
masih berburu babi di hutan. Babi pun sekarang sudah tidak sebanyak dulu
lagi. Penghasilan utama orang rimba masih berburu babi. Penghasilan itu
tidaklah cukup sebab anak-anak kami ada yang sudah bersekolah.
Terkadang anak tidak mau sekolah kalau hanya diberi uang jajan
Rp1.000,00 saja. Harga barang pun sudah semakin naik” ucap perempuan
itu.
Selain berburu babi, sebagian orang rimba juga membudi daya ikan lele
dan beternak kambing, yang diberikan Cuma-Cuma oleh salah satu LSM
(Lembaga Swadaya Masyarakat) yang peduli terhadap orang rimba. Di
saat-saat tertentu, masyarakat dusun acapkali memesan ambung dan lukah
kepada orang rimba.
“Lumayan sekali, buat nambah penghasilan,” kata lelaki rimba yang kemudian dialihbahasakan Pak Jenang kepada saya.
Di permukiman ini, terdapat sebuah balai yang digunakan sebagai
tempat ibadah sekaligus tempat berkumpulnya Orang Rimba. Mayoritas Orang
Rimba di Pulau Lintang sudah beragama Kristen. Pak Mustafa mengatakan
agama Kristen sudah masuk ke orang rimba sejak tahun 1970-an. Pendetanya
sendiri sudah ada dari orang rimba, jadi tidak perlu lagi ke luar. Pak
Mustafa, lelaki berdarah Jawa, menjadi jenang karena panggilan jiwa
sebab orang tuanya dahulu juga seorang jenang. Selain di Pulau Lintang,
Pak Mustafa juga seringkali ke Taman Nasional Bukit Duabelas. Di sana ia
membuka kelas buat belajar baca tulis.
Dari balai, saya melihat sebuah bangunan yang tampaknya jarang
digunakan. Pak Mustafa bilang itu adalah WC yang sudah dibangun, namun
Orang Rimba lebih memilih beraktivitas MCK di sungai. Menurut mereka
buang air di sungai lebih nyaman daripada WC. Walhasil, bangunan itu tak
pernah dimanfaatkan.
Berkunjung ke Pulau Lintang memberikan pengalaman baru dan membuat
saya lebih bersyukur menjalani hidup. Meski Orang Rimba Pulau Lintang
mengatakan bahwa mereka lebih nyaman tinggal di permukiman daripada di
hutan, masih ada Orang Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas
dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang menganggap hutan adalah rumah
dan pohon-pohon adalah saudara kandung. Mari lestarikan hutan! (RFH)
NB: dimuat di Majalah Puan tertanggal 06 April 2018
NB: dimuat di Majalah Puan tertanggal 06 April 2018
Komentar
Posting Komentar