Halo Sahabat Puan, selamat Senin Ceria di awal November. Kali ini redaksi akan mengajakmu berkenalan dengan seorang sastrawan perempuan asal Sumatera Barat yang kini menetap di ibu kota. Beliau menulis puisi, bermain teater, meneliti sastra lisan, mendongeng untuk anak-anaknya, dan menjadi anutan dalam keluarga. Yuk, intip kisahnya di bawah ini!
Selain menulis puisi, kerja di Badan Bahasa Jakarta, kegiatannya apa nih?
Menulis puisi bukan pekerjaan kantor. Itu hobi menulis yang telah ada sejak kecil. Jadi, bagiku menjadi PNS itu kemudian. Aku berproses sejak kecil untuk menulis. Pekerjaan kantor? Ya tentulah hal-hal standar: peneliti. Sejak awal aku sudah mengambil tempatku sebagai peneliti sastra. Kemudian berkembang dan fokus pada sastra lisan dengan kajian cerita rakyat. Ini juga belum tersentuh dengan baik.
Sebagai ibu bagi empat anak, apakah dongeng ibu sebelum tidur itu penting bagi perkembangan syaraf motorik anak? Mengapa?
Nah, ini keren. Aku terbiasa mendongeng untuk mereka. Selain mengisi waktu bersama yang tercuri oleh ruwetnya perjalanan kantor dan rumah, dongeng menjadi hal menarik buatku mengantar mereka ke alam tidur nyenyak. Bukan motorik barangkali, tetapi kekuatan mereka menyerap kata dengan pemahamannya. Kemampuan mereka berpikir lebih terpola dan terbiasa punya alternatif berpikir tentang hal yang mereka hadapi di luar rumah. Dulu aku berpola sebagai pendongeng, kemudian beralih peran: akulah yang didongengkan mereka sebelum tidur. Pola dongeng yang sama, tetapi anak-anak membuat cerita sendiri sesuai dengan kondisi yang dialaminya.
Kalau tidak salah, dulu Uni sempat mengajar yah di Unand, mengapa tiba-tiba pindah kerja? Apa masih nyambi mengajar juga? Di mana?
Ya. Sebagai dosen luar biasa. Mengajar di fakultas sastra dan mengajar Bahasa Indonesia sebagai mata kuliah dasar umum di fakultas ekonomi dan FMIPA. Juga pernah mengajar di INS Kayutanam, sekolah Sjafei yang dikelola A.A. Navis saat itu. Mengapa keluar? Sistem. Entahlah. Maka aku perlu beranjak. Sekarang mengajar jika hanya diminta mengisi kuliah umum. Tahun lalu di Universitas Borneo Tarakan, Kalimantan Utara. Tahun ini direncanakan akan mengajar di UHO Kendari, Sulawesi Tenggara. Hanya itu.
Setelah menjadi urban ke Ibukota, hal apa sih yang paling dirindukan untuk pulang kampung? Keluarga tentu saja. Orang tua, adik-adik, dan sanak saudara.
Bagaimana Evan Ys di mata keluarga, terutama ibu dan saudara perempuan? Apa arti perempuan bagi Uni Evan?
Aku anak sulung dari enam bersaudara. Mamaku perempuan hebat yang lebih jadi sahabat daripada ibu. Bagi mamaku, aku kebanggaannya. Mungkin jadi pelanjut cita-citanya pada pendidikan. Dahulu, di setiap terima rapor aku mesti mendapat rangking kelas dan itu baik buat diri sendiri. Bagi adik-adikku, aku ukuran mereka bersikap dan bertindak. Mereka belajar dariku berkata, tidak terhadap apa yang tidak disukai. Kehadiranku adalah hal yang mereka tunggu. Jadi, istilahnya “Nggak ada lo nggak rame.” Hehehe. Perempuan adalah makluk eksotis dengan segala indahnya. Akan tetapi, yang terpenting menjadi diri yang manusia. Lengkap dengan segala lebih dan kekurangannya!
Kemarin, kalau tak salah Uni menjadi juri di FTJ (Festival Teater Jakarta) Dewan Kesenian Jakarta, ada berapa perempuan yang menjadi juri? Bagaimana peran perempuan di teater menurut pandangan Uni?
Belum. FTJ baru di gelar 8–16 November 2017 dengan 16 pementasan. Juri perempuan khususnya teater sejak 1975 – kini agak langka. Mungkin baru dua atau tiga, tapi yang aku tahu itu Naniek L. Karim dan Evan Ys. Entahlah kalau ada satunya lagi. Sama sih, teater tidak bicara tentang jenis kelamin. Maksudnya, tidak membeda-bedakankan, terbuka luas, sebagaimana bidang sastra lainnya.
Meski telah ada film yang diputar di bioskop-bioskop, teater selalu memiliki tempat bagi pencintanya. Bagaimana dua perbandingan antara teater dan film?
Tentu! Sebab beda bentuk dan beda peminat. Mungkin ini bukan perbandingan yang pas, tetapi tentu berbeda. Teater perlu karakter yang kuat, akting yang bagus, pembacaan naskah yang tidak sebentar, serta panggung langsung yang mendebarkan. Bekerja sama dalam tim akan jadi pembelajaran hingga kita memahami bagaimana menghargai apa pun. Film juga baik, tetapi sifatnya bukan tayang langsung dan sebenarnya hal lainnya sama, hanya beda ruang saja.
Apa arti puisi bagi Evan Ys?
Aku mencintai kata seperti aku mencintai hidup. Begitu pentingnya kata sebagai alat penyampainya. Puisi tentu tidak sama dengan karya lainnya sebab puisi lebih pada pemahaman dan makna keseluruhan yang singkat. Lebih singkat dan kaya makna pada diksi yang dipilih mewakili apa yang akan diungkapkan.
Dulu Uni belajar menulis dari siapa?
Aku berguru pada alam. Sejak kecil aku suka membaca, bahkan kertas kecil yang kutemui pun kubaca. Saat sedang menyapu lantai misalnya, aku akan membaca dahulu. Hal ini sering menjadi bahan olok-olok adikku. Bahkan lebih buruknya, aku mesti membaca sembari makan. Sementara dalam aturan keluargaku yang Minang, ini menjadi masalah. Namun karena sudah terbiasa, semua memaklumi. Akan tetapi, sekarang sudah berkurang. Bahkan dinding kamar kakekku yang ditutupi koran jadi lahanku membaca. Waktu SMP, aku rela tidak jajan dan menyisihkan uang jajanku untuk membeli majalah remaja. Kalau menulis, aku sudah terbiasa menulis buku harian sejak remaja hingga kemudian terbiasa menulis apa saja.
Selain menulis puisi, cerita anak, esai, dan makalah, Uni menulis apa lagi? Mungkin sekarang sedang mempersiapkan naskah?
Cerpen. Kalau naskah drama, dulu aku menulisnya ketika SMA untuk tampil di acara kampung. Aku juga menulis skenario film. Kalau novel ada juga beberapa yang belum selesai.
Sebutkan judul buku Uni yang sudah terbit (lengkap beserta penerbit dan tahun)
Untuk buku-buku karya kreatif, sebenarnya tidak terlalu aku fokuskan. Tulisanku lebih banyak ada di antologi-antologi. Aku malah berpikir tidak akan menerbitkan buku tunggal, tetapi desakan teman yang menganggap caraku tidak pas, akhirnya diterbitkan juga oleh Oceania Press, Kendari. Baru satu buku puisi tunggal. Puisi perjalanan Evan Ys: Per-Empu-an dalam Semedi Tanpa Dupa. Mungkin tahun depan buku kedua: kumpulan cerpen dan tiga novel yang akan diterbitkan secara bertahap.
Yang paling disukai Uni, menulis yang genre apa sih?
Apa saja. Aku tidak terikat akan genre.
Ngomong-ngomong, Uni dulu pernah main ke Jambi karena penelitian Sastra Lisan, Bagaimana perkembangan Sastra Lisan Jambi di mata Uni?
Yap! Vitalitas sastra lisan Senandung Jolo: mengkaji kebertahanannya. Sastra lisan Jambi sangat banyak dan belum tergali banyak. Aku bermimpi meneliti sastra lisan suku Kubu. Pasti menarik!
Suka duka sebagai peneliti sastra lisan?
Lebih banyak sukanya sebab aku mencintai dunia penelitian ini. Dukanya hanya soal dana yang tak sesuai standar saja.
Apa perbedaan sastra lisan dan kelisanan?
Sastra lisan itu ada yang lisan, setengah lisan, yang sudah dituliskan, dan lebih pada sastra rakyat yang berkembang dalam masyarakat
Saya tiba-tiba teringat Ong. Untuk membayangkan masyarakat yang sama sekali tak tersentuh oleh tulisan, kita diajak untuk memahami suara. Sebab suara selalu bergerak hingga tak punya jejak. Apa peran suara dan telinga sebagai alat mengingat? Mungkin banyak masyarakat kita yang belum paham soal ini.
Yap! Masyarakat paling awam pun punya bahasa dan cara berkomunikasi. Mereka punya aksara. Mereka menuliskannya pada wadah daun, tulang, da lain-lain. Ingatan kolektif masyarakat akan menjadi hal yang paling jitu.
Apakah kebudayaan lisan yang ada dalam akan masyarakat tertentu memengaruhi cara berpikir dan cara hidup masyarakat?
Nah, ini arahnya ke mana? Manusia lebih cenderung mengatakan daripada menuliskan. Menulis butuh keahlian lain, kemampuan berpikir terstruktur dan bermakna.
Kira-kira kalau dari Sabang sampai Merauke, wilayah mana yang paling dominan kelisanannya?
Semua sama. Sebab lisan itu ada sebelum berkembangnya pengetahuan pada kebiasaan menuliskan, sekarang juga orang lebih suka bicara daripada menulis sebab tidak mau repot berpikir.
Dalam kebudayaan lisan, kisah-kisah para raja seringkali diceritakan dalam beberapa versi berbeda. Lalu di mana letak kebenaran cerita? Dalam versi yang bagaimana?
Tidak ada kebenaran yang mutlak. Kebenaran itu berdiri sendiri.
Saya pernah membaca status medsos seorang guru besar kampus ternama di Indonesia, beliau mengatakan bahwa “Hanya orang goblok yang menganggap yang lisan dan yang berita bukan teks”. Bagaimana tanggapan Uni? Sebab tidak semua masyarakat paham bahwa yang lisan adalah teks.
Lisan adalah teks yang dibacakan dan akan menjadi teks jika dituliskan. Apa alasan berkata yang lisan itu teks? Jika direkam, maka akan menjadi teks. Aku suka kalimat Ignas Kleden dalam sebuah diskusi: kita terbiasa lebih fokus pada sosok bukan pada pokok atau isi. Bagiku, bukan siapa yang mengatakan, tetapi lebih fokus pada apa yang dia katakan. Aku tidak terbiasa menyebut dan berfoto dengan sosok-sosok tertentu, tetapi lebih kepada isi kepalanya. Aku dididik A. A. Navis tentang cara menghargai orang. Aku pernah dimarahinya karena hal ini. Aku dipercaya Navis untuk mengurus kegiatan besar. Tiba-tiba aku percaya saja memberikan berkas pada orang yang hanya kukenal namanya saja.
Aku dimarahi Navis. Beliau berkata: “Kalau saya mengaku asisten Raja Brunei atau presiden maka kamu juga akan mempercayainya? Sebab kamu kenal nama-nama besar itu tanpa pernah bertemu?” Aku dimarahi di hadapan banyak tamu, yakni orang-orang hebat yang dia kenalkan sebelumnya kepadaku. Aku meminta maaf. Akan tetapi, bukanlah Navis jika marahnya panjang. Tiba-tiba ia menanyakan kalau aku sudah makan atau belum. Hahahaha…. Kenangan indah dan aku belajar dari sana.
Baik Uni Evan, Terima kasih ngobrol asyiknya yang membuat saya kecanduan. Kapan-kapan kita ngobrol lagi yah!
Oke. Siap. Terima kasih kembali.
Nama asli | Eva Yenita Syam | |
Nama Sastrawan | Evan Ys | |
TTL | 5 September | |
Pendidikan Terakhir | Magister Pendidikan S – 2, tetapi ini belum akhir. Masih setahap lagi , tahun depan Insya Allah. | |
Pekerjaan | PNS |
NB: pernah dimuat di Majalah Puan tertanggal 06 November 2017
Komentar
Posting Komentar