Langsung ke konten utama

Tradisi Bingguk Suku Anak Dalam

                                                       sumber: dokumen pribadi

Sebelum memutuskan berangkat ke Taman Nasional Bukit Duabelas untuk mengunjungi SAD (Suku Anak Dalam) atau orang rimba,aku menelpon Kak Elvi, seorang teman yang akan berpetualang bersamaku. Pertanyaanku sederhana, di mana orang rimba buang air besar? Katanya di dalam tanah. Aku tertawa geli mengira Kak Elvi bercanda, kemudian Kak Elvi menjelaskan bahwa terlebih dahulu mereka akan menggali lubang dan menimbunnya kembali. Aku cuma senyum-senyum saja membayangkan yang akan kualami nanti.

Di hutan TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) tidak ada signal, apalagi listrik. Aku merasa benar-benar terputus dari dunia luar. Namun kehilangan signal dan listrik, bukanlah hal yang menjengkelkan. Justru ini sebagai penguji diri betapa dunia modern telah membius manusia untuk takluk terhadapnya. Aku sungguh senang main ke hutan, mengingatkan masa kecilku. Dulu nenekku tinggal di tempat yang sangat jauh dari kota, masih banyak hutan dan monyet-monyet yang siap mengantri di pintu belakang rumah untuk diam-diam mencuri pisang ke dalam dapur.

Tengah malam kami tiba di TNBD dan kami menginap di rumah papan milik Mijak Tampung. Mijak adalah salah satu suku anak dalam yang sudah sering keliling Indonesia. Sebelum datang ke sini, kubayangkan kalau aku akan menginap di sudung (rumah tanpa dinding). Kenyataannya, kami harus merasa lebih bersyukur, sebab angin malam terhalang dinding rumah untuk menembus kulit kami dengan liarnya. Di TNBD yang memiliki rumah papan bisa dihitung pakai jari. Selebihnya masih menetap di sudung.

Setelah terbangun dari malam, aku menemui Kak Elvi dan Mijak di dapur. Kukatakan pada Mijak bahwa aku ingin BAB (Buang Air Besar). Mijak bilang, dalam bahasa Rimba, BAB disebut bingguk. Mijak bilang bahwa suku anak dalam tidak memiliki toilet laiknya orang modern. Mereka melakukan bingguk di hutan dengan cara menggali tanah dan menimbunnya kembali. Mijak memberikan sebuah cangkul, gayung, dan jeriken berisi air. Kukatakan pada Mijak bahwa aku tak berani sendirian berjalan ke hutan untuk melakukan bingguk. Aku hanya takut kalau-kalau saja saat aku bingguk tiba-tiba ada yang melintas di depanku.

Mijak mengantarkanku menuju hutan belakang rumahnya, kira-kira kami berjalan selama dua menit sambil membawa peralatan bingguk. Ketika tiba di suatu tempat yang menurutnya aman, Mijak bilang aku bisa menggali tanah di sana dan bingguk sesukaku. "Jangan lupa ditimbun ya!" ucapnya sambil tersenyum. Aku mengangguk lalu Mijak meninggalkanku. Setelah kulihat ia ditelan pengkolan jalan setapak dan hijau belantara, aku menggali tanah, melihat kiri kanan, bingguk dengan khidmat, lalu menimbunnya kembali. Mau tak mau, aku harus melihat isi perutku yang biasanya tak terlihat ketika bingguk di rumah. Aku mengernyitkan dahi dan melewati jalan setapak dengan perasaan tenang.

Kata Mijak sebelum lebih dulu meninggalkanku tadi “Hei wartawan kecantikan, jika nanti nyasar pulang ke rumah, teriak saja, nanti akan kujemput.” Aku tersenyum mengingatnya. Mijak selalu memanggilku wartawan kecantikan, katanya karena penampilanku. Orang ini ada-ada saja,pikirku. Sempat menyasar di dalam hutan sendirian, aku tak lekas berteriak memanggil Mijak. Mengapa aku harus takut jika tersesat di hutan? Orang rimba menganggap hutan adalah rumah. Karena aku sedang berada di hutan, aku harus beradaptasi dan menganggap hutan sebagai rumahku. Akhirnya, kutemukan jua jalan pulang menuju rumah.

Sayup-sayup aku mendengar obrolan Kak Elvi dan Mijak yang sedang merebus ubi untuk sarapan. Saat asap dari kayu bakar membuat perih mataku, aku masuk ke dalam dan ikut mengobrol. Lalu aku bertanya kepada Mijak.

“Apakah orang rimba selalu bingguk memakai cangkul?” tanyaku.

“Tidak juga. Karena kau tamu, maka kuberikan cangkul. Jika sedang dalam perjalanan ke dalam rimba, biasanya kami akan menggali tanah dengan kayu yang ada,” jawab Mijak.

“Lalu, bagaimana berceboknya, Bang?” tanyaku usil sambil melengkungkan bibirku.

“Jika tidak ada air, kami memakai daun. Ini cara alami orang rimba bingguk,” jawabnya.

“Mengapa orang-orang rimba tidak membuat WC laiknya orang modern, Bang?” tanyaku dengan sudut pandang orang modern.

“Sebab kami masih percaya bahwa kotoran manusia bisa menjadi pupuk bagi pohon-pohon, salah satu cara ini sebagai perlindungan terhadap hutan, rumah kami,” jawab Mijak sambil tertawa.

Tiba-tiba aku teringat sebuah desa. Dulu, saat aku Kukerta di Desa Lubuk Bumbun Merangin, masyarakatnya melakukan bingguk di sungai, tetapi orang rimba tidak mau bingguk di sungai. Orang rimba juga tidak mau koncing ‘buang air kecil’ sembarangan di sungai. Mereka sangat menjaga sungai. Sebab mereka minum dari air sungai tanpa dimasak. Bagi orang rimba, sungai adalah kekayaan alam yang harus dijaga.

Aku kemudian terbayang wajah sungai di perkotaan yang sudah tercemar banyak sampah. Seakan tak memiliki dosa, mereka membuang sampah sesukanya ke dalam sungai. Orang rimba bahkan tidak pernah membuang sampah ke dalam sungai. Sebagian orang-orang dari dunia modern, yang konon memiliki latar pendidikan yang baik, masih belum memiliki kesadaran sepenuhnya untuk menjaga sungai. Orang rimba tidak sekolah formal, tetapi mereka mencintai alam dengan sangat baik.

Main ke hutan tak membuatku menyesal meski beberapa temanku khawatir aku akan terkena malaria. Teman-temanku lucu sekali. sampai-sampai mengirimkan foto obat malaria sebelum aku lekas berangkat ke hutan. Terima kasih ya sudah perhatian, hutan di TNBD tidak semengerikan yang dibayangkan orang-orang. Buktinya, aku belajar banyak dari orang rimba. Mereka punya laku hidup yang unik, yang bisa menjadi pembelajaran bagi orang-orang kota.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pepatah Jepang I

diambil dari catatan Facebook, 17 Agustus 2010         Pepatah dalam bahasa Jepang disebut kotowaza (ことわざ)salah satunya nih, iwanu ga hana いわぬ が 花 artinya, tidak bicara itu bunga, maksudnya  diam adalah emas. "Aite no nai kenka wa dekinu" artinya Orang tak bisa bertengkar tanpa musuh. "Shippai wa seikou no moto" artinya kegagalan adalah kesuksesan yang tertunda "Hito no uwasa mo shici jyu go nichi"  (人の噂も七十五日) artinya, gosip/rumor hanya bertahan selama 75 hari alias gosip/rumor tidak akan bertahan lama.  "Sarumo ki kara ochiru" 猿も木から落ちる  artinya kera juga bisa jatuh dari pohon.  Sama artinya dengan sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga "Baka mo ichi-gei" 馬鹿 も いちげい artinya, orang bodoh pun punya kelebihan/kebaikan "Arashi no ato, sora ni niji ga kakarimashita" artinya Badai pasti berlalu "Onna sannin yoreba kashimashii" artinya: di mana pun ketika ada t

Buku Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia

Oleh: Tri Wahyuni Zuhri Judul  : Profil Perempuan Pengarang & Penulis Indonesia Penulis : Kurniawan Junaedhie Penerbit : Kosa Kata Kita Jakarta Jumlah hlm. : 338 Tahun : 2012 Buku yang di tulis oleh Kurniawan Junaedhie dan di terbitkan oleh Kosa Kata Kita Jakarta, memang cukup banyak di cari. Terutama karena buku ini memuat sekitar 800-an lebih profil perempuan pengarang dan penulis Indonesia.  Sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran 1897, hingga Sri Izzati, pengarang kelahiran 1995. Dalam kata pengantar di buku ini, Kurniawan Junaeid menjelaskan alasannya membuat buku Profil Perempuan Pengarang dan Penulis Indonesia.  Selama ini masih sedikit sekali buku  literatur yang menjelaskan sepak terjang perempuan pengarang dan penulis di Indonesia.  Sebut saja buku-buku tersebut antara lain Leksikon Kesustraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) di susun oleh Pemusuk Eneste, Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang di su

Antara Penyair Perempuan dan Puisi Esai

Proyek penulisan puisi esai nasional Denny J.A. (DJA) jilid II melibatkan berbagai penulis dari 34 provinsi se-Indonesia. Dalam satu buku puisi esai, terdiri atas lima penulis yang mewakili setiap provinsi, yang akan diterbitkan secara serentak di Indonesia. Masing-masing penulis mendapatkan kontribusi sebesar Rp5 juta. Namun akhir-akhir ini, proyek penulisan tersebut menimbulkan polemik baru dalam sastra Indonesia. Tiba-tiba saja muncul berbagai penolakan puisi esai dari banyak komunitas. Di antara pro dan kontra puisi esai, sebagian penulis puisi esai adalah penyair perempuan. Di lain pihak, ada juga beberapa penyair perempuan yang mengundurkan diri. Mengapa puisi esai menimbulkan berbagai polemik? Bagaimana isu perempuan dalam puisi esai? Simak hasil wawancara puan.co bersama Dellorie Ahada Nakatama, Fatin Hamama R. Syam, Rukmi Wisnu Wardani, dan Waode Nur Iman berikut ini! Dellorie, Penyair yang Mengundurkan Diri dari Puisi Esai Setelah viral nama beberap

Rise For Holiday