Megengan adalah sebuah tradisi kenduri bersama masyarakat bumi reog Ponorogo yang diadakan bergiliran di rumah warga sekitar yang telah disepakati. Selain di rumah warga, terkadang ada juga yang memilih masjid sebagai lokasi kenduri. Megengan dirayakan dua kali, yakni seminggu menjelang bulan Ramadan dan seminggu menjelang hari raya Idulfitri.
Acara megengan dilaksanakan pada malam hari. Jika menyambut idulfitri, biasanya diadakan usai salat tarawih. Salah satu wilayah yang masih merayakan tradisi megengan, yakni Kelurahan Keniten, Kecamatan Ponorogo, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Dalam bahasa Jawa, megengan berarti menahan. Maka warga masyarakat yang akan menahan rasa haus dan lapar saat Ramadan perlu menyambut kedatangan bulan suci Ramadan dan Idulfitri dengan gembira dan sukacita.
Dwi Rahariyoso, lelaki yang berdiam di Keniten Ponorogo, mengatakan bahwa acara megengan ini sebagai perwujudan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat di bulan Ramadan dan menjelang hari raya Idulfitri. Megengan yang merupakan tradisi turun-temurun di Ponorogo juga merupakan simbol kerukunan antarmasyarakat Ponorogo, Jawa Timur.
Pada acara megengan, masing-masing warga membawa makanan sebagai perwujudan rasa syukur. Makanan tersebut sesuai kesepakatan warga. Di wilayah Ponorogo lazim disebut dengan “berkat”.
“Ada yang membawa berkat dua bungkus, ada yang satu bungkus. Semua itu hanya simbolisasi dari silaturahmi dan perwujudan rasa syukur melalui berbagi dan bertukar makanan melalui berkat,” tutur lelaki tiga puluh tahun yang akrab disapa Yoso ini.
Konvensi makanannya terdiri atas kering tempe, mi, telur, ayam, dan serundeng. Nasi yang dibawa ini nantinya akan dikumpulkan menjadi satu. Oleh tuan rumah, kantong nasi itu dimasukkan ke dalam tas seragam berwarna ungu, yang dibeli dari hasil iuran warga. Setelah itu dilanjutkan dengan pembacaan doa.
“Tidak mesti harus ada kudapan yang harus disajikan dalam acara megengan. Namun pada acara megengan di rumah Pak Min (11/06), tuan rumah menyajikan teh dan kudapan atas inisiatif sendiri,” ungkap Dwi Rahariyoso.
Usai pemacaan doa berarti usailah acara megengan, yakni masyarakat boleh langsung pulang dengan membawa kudapan dan kantong nasi yang berbeda dengan nasi yang dibawa semula.
“Jika masih ingin melepas rindu bersama tetangga, biasanya usai pembacaan doa warga menikmati kudapan sembari mengobrol dan tidak serta-merta pulang,” tambah Dwi Rahariyoso.
Menurut lelaki paruh baya bernama Kasirin, yang menjadi khas dari acara megengan biasanya para ibu rumah tangga akan sibuk menyiapkan makanan yang akan dibawa suaminya ke acara megengan. Nanti saat pulang dari acara, suami akan membawa nasi yang berbeda. Pola semacam ini secara kultural merupakan bentuk dari pola masyarakat Jawa agraris yang komunal. Megengan merupakan bagian dari variasi tradisi menjelang hari raya dan bulan penuh berkah di masyarakat nusantara.
Sebagian besar yang datang di acara megengan adalah laki-laki, namun bila ada satu keluarga yang pihak laki-lakinya tidak bisa datang maka boleh diwakilkan oleh perempuan. Megengan menjelang Idulfitri biasa disebut juga dengan istiah riyayan. Megengan penting dilakukan karena berada dalam ranah sosial-kultural (kemasyarakatan dan kebudayaan) agar menciptakan kerukunan dan keakraban terhadap sesama.
Sesudah dilakukan megengan, biasanya berdekatan dengan tradisi nyekar atau ziarah kubur. Tradisi nyekar merupakan salah satu cara menghormati leluhur dan kerabat yang telah meninggal. Di sana peziarah menaburkan beraneka kembang di atas kuburan dan tak lupa membaca yasin dan tahlil. Puncak nyekar paling ramai bisa diihat pada H-1 hingga H-3 sebelum Ramadan dan Idulfitri.
NB: pernah dimuat di Majalah Puan tertanggal 13 Juni 2018
Komentar
Posting Komentar