Saat kali pertama saya dikabari harus turun ke TNBD (Taman
Nasional Bukit Duabelas), saya sungguh senang sebab selain main ke
hutan, ada yang ingin saya temui, yakni SAD (Suku Anak Dalam) atau biasa
dikenal dengan orang rimba. Di Provinsi Jambi, TNBD tersebar di tiga
kabupaten: Batanghari, Tebo, dan Sarolangun.
Menurut peta, Sako Napu, lokasi yang saya kunjungi di TNBD masuk dalam wilayah Kabupaten Tebo. Namun, akses ke dalam hutannya lebih dekat dimasuki melalui Kabupaten Merangin. Sekitar empat jam dari Merangin Bangko, dengan kendaraan roda empat yang terpisah dua, kami melewati jalan-jalan berbukit, diiringi semilir Sungai Makekal yang mengalir di sepanjang jalan, dan suara merdu monyet-monyet hutan.
Pagi itu, saya, Kak Elvi, dua teman SAD (Mijak Tampung dan Penangguk Sunting) sudah siap menuju tepi hutan adat. Perjalanan hanya bisa diakses melalui perjalanan kaki. Sebab hanya ada jalan setapak yang kiri kanannya adalah hutan belantara. Setelah hampir satu jam berjalan kaki, kami bertemu banyak orang rimba di perjalanan. Kebanyakan ibu-ibu tua bertelanjang dada dengan ambung penuh singkong di punggungnya. Sementara anak perawan yang belum menikah masih memakai baju. Barangkali inilah etika perempuan rimba.
Perempuan rimba sangat berbeda dengan perempuan modern. Perempuan rimba tidak sekolah formal dan tidak boleh keluar hutan. Terlahir sebagai perempuan rimba berarti harus setia berada di rumah (hutan) mengurusi keluarga, sebab ini telah menjadi adat yang tak bisa ditawar.
Induk adalah sebutan ibu bagi orang rimba. Bagi orang-orang modern yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Indonesia, tentu saja sebutan “Induk” bagi perempuan tua adalah hal yang ganjil dan asing.
Perempuan rimba yang telah memiliki anak memiliki beberapa nama. Semisal nama aslinya adalah Bekandang. Ketika ia memiliki anak bernama Besudut, di kehidupan sehari-hari ia takkan lagi dipanggil dengan nama aslinya, melainkan nama anak pertamanya. Maka ia akan dipanggil dengan Induk Besudut, bukan Induk Bekandang.
Dari kesekian induk-induk yang kami jumpai, bagi saya yang sangat berkesan adalah Induk Bejajo. Saya lupa siapa persis nama aslinya, sebab Bejajo adalah nama anaknya. Bagi saya Induk Bejajo sangat unik. Rambutnya pendek, agak kribo, sangat berbeda dengan perempuan rimba lainnya yang cenderung lurus. Saat Induk Bejajo tengah duduk disamping sudung (rumah orang rimba tanpa dinding), kami yang terpesona dengan kecantikan Induk Bejajo kemudian mendekatinya.
Kami mengobrol dengan hangat. Tak saya sangka ternyata Induk Bejajo sangat ramah. Raut wajahnya berubah tatkala Kak Elvi menanyakan kebaradaan suaminya. Dengan suara parau, ia katakan bahwa suaminya telah meninggal. Dahulunya, suaminya adalah seorang tumenggung (ketua rombong atau semacam kepala desa). Entah kenapa saya tiba-tiba ikut larut dalam kesedihan Induk Bejajo.
sumber: dokumen pribadi
Kak Elvi mengeluarkan seplastik roti dan memberikannya kepada Induk Bejajo. Induk menerimanya dengan senang hati. Saya sungguh tak sanggup lagi bila harus lama-lama mendengar cerita tentang kesedihan, sebab bisa-bisa saya yang akan menangis. Saya memberi kode Kak Elvi untuk melanjutkan perjalanan lalu kami memutuskan untuk meninggalkan Induk Bejajo.
Dari kejuahan, Mijak Tampung dan Penangguk Sunting asyik mengamati kami. Juga, ia mengambil beberapa potret kami. Tiba-tiba Induk Bejajo memberi kami beberapa buah singkong. Kami pun menerimanya dengan senang hati lalu melanjutkan perjalanan dengan kaki sedikit pegal.
Saya sebenarnya merasa prihatin melihat kondisi Induk Bejajo atau orang rimba lainnya yang masih tinggal di sudung. Namun tentu saja ini ditinjau dari sudut pandang pendatang atau orang modern, yang barangkali sangat bertolak dengan tradisi orang rimba. Sebab mereka masih merasa nyaman saja tinggal di sudung.
Di satu sisi, saya merasa iri dengan Induk Bejajo. Tanpa sekolah formal pun, ia memperlakukan kami (orang asing) dengan sangat baik dan tulus. Orang rimba (Mijak, Penangguk, Induk Bejajo, Tumenggung, Kepala Adat, dan warga rombong Tumenggung Calitas) menyambut kami, manusia dari dunia modern dengan sangat baik. Ini pembelajaran penting yang akan saya tiru nantinya. Main ke hutan membuat saya lebih banyak bersyukur dan belajar akan banyak hal.
Saya tiba-tiba berpikir bagaimana bila orang-orang baik seperti orang rimba, yang adat-istiadatnya masih sangat kental, kelak akan kehilangan hutan tempat tinggal mereka? Semoga hutan Taman Nasional Bukit Duabelas akan selalu menjadi suaka bagi orang rimba.
Nb: tulisan ini masih agak kacau karena ditulis saat vertigo menyerang. Rasanya seperti sedang naik komidi putar (Februari, 2018)
Menurut peta, Sako Napu, lokasi yang saya kunjungi di TNBD masuk dalam wilayah Kabupaten Tebo. Namun, akses ke dalam hutannya lebih dekat dimasuki melalui Kabupaten Merangin. Sekitar empat jam dari Merangin Bangko, dengan kendaraan roda empat yang terpisah dua, kami melewati jalan-jalan berbukit, diiringi semilir Sungai Makekal yang mengalir di sepanjang jalan, dan suara merdu monyet-monyet hutan.
Pagi itu, saya, Kak Elvi, dua teman SAD (Mijak Tampung dan Penangguk Sunting) sudah siap menuju tepi hutan adat. Perjalanan hanya bisa diakses melalui perjalanan kaki. Sebab hanya ada jalan setapak yang kiri kanannya adalah hutan belantara. Setelah hampir satu jam berjalan kaki, kami bertemu banyak orang rimba di perjalanan. Kebanyakan ibu-ibu tua bertelanjang dada dengan ambung penuh singkong di punggungnya. Sementara anak perawan yang belum menikah masih memakai baju. Barangkali inilah etika perempuan rimba.
Perempuan rimba sangat berbeda dengan perempuan modern. Perempuan rimba tidak sekolah formal dan tidak boleh keluar hutan. Terlahir sebagai perempuan rimba berarti harus setia berada di rumah (hutan) mengurusi keluarga, sebab ini telah menjadi adat yang tak bisa ditawar.
Induk adalah sebutan ibu bagi orang rimba. Bagi orang-orang modern yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Indonesia, tentu saja sebutan “Induk” bagi perempuan tua adalah hal yang ganjil dan asing.
Perempuan rimba yang telah memiliki anak memiliki beberapa nama. Semisal nama aslinya adalah Bekandang. Ketika ia memiliki anak bernama Besudut, di kehidupan sehari-hari ia takkan lagi dipanggil dengan nama aslinya, melainkan nama anak pertamanya. Maka ia akan dipanggil dengan Induk Besudut, bukan Induk Bekandang.
Dari kesekian induk-induk yang kami jumpai, bagi saya yang sangat berkesan adalah Induk Bejajo. Saya lupa siapa persis nama aslinya, sebab Bejajo adalah nama anaknya. Bagi saya Induk Bejajo sangat unik. Rambutnya pendek, agak kribo, sangat berbeda dengan perempuan rimba lainnya yang cenderung lurus. Saat Induk Bejajo tengah duduk disamping sudung (rumah orang rimba tanpa dinding), kami yang terpesona dengan kecantikan Induk Bejajo kemudian mendekatinya.
Kami mengobrol dengan hangat. Tak saya sangka ternyata Induk Bejajo sangat ramah. Raut wajahnya berubah tatkala Kak Elvi menanyakan kebaradaan suaminya. Dengan suara parau, ia katakan bahwa suaminya telah meninggal. Dahulunya, suaminya adalah seorang tumenggung (ketua rombong atau semacam kepala desa). Entah kenapa saya tiba-tiba ikut larut dalam kesedihan Induk Bejajo.
sumber: dokumen pribadi
Kak Elvi mengeluarkan seplastik roti dan memberikannya kepada Induk Bejajo. Induk menerimanya dengan senang hati. Saya sungguh tak sanggup lagi bila harus lama-lama mendengar cerita tentang kesedihan, sebab bisa-bisa saya yang akan menangis. Saya memberi kode Kak Elvi untuk melanjutkan perjalanan lalu kami memutuskan untuk meninggalkan Induk Bejajo.
Dari kejuahan, Mijak Tampung dan Penangguk Sunting asyik mengamati kami. Juga, ia mengambil beberapa potret kami. Tiba-tiba Induk Bejajo memberi kami beberapa buah singkong. Kami pun menerimanya dengan senang hati lalu melanjutkan perjalanan dengan kaki sedikit pegal.
Saya sebenarnya merasa prihatin melihat kondisi Induk Bejajo atau orang rimba lainnya yang masih tinggal di sudung. Namun tentu saja ini ditinjau dari sudut pandang pendatang atau orang modern, yang barangkali sangat bertolak dengan tradisi orang rimba. Sebab mereka masih merasa nyaman saja tinggal di sudung.
Di satu sisi, saya merasa iri dengan Induk Bejajo. Tanpa sekolah formal pun, ia memperlakukan kami (orang asing) dengan sangat baik dan tulus. Orang rimba (Mijak, Penangguk, Induk Bejajo, Tumenggung, Kepala Adat, dan warga rombong Tumenggung Calitas) menyambut kami, manusia dari dunia modern dengan sangat baik. Ini pembelajaran penting yang akan saya tiru nantinya. Main ke hutan membuat saya lebih banyak bersyukur dan belajar akan banyak hal.
Saya tiba-tiba berpikir bagaimana bila orang-orang baik seperti orang rimba, yang adat-istiadatnya masih sangat kental, kelak akan kehilangan hutan tempat tinggal mereka? Semoga hutan Taman Nasional Bukit Duabelas akan selalu menjadi suaka bagi orang rimba.
Nb: tulisan ini masih agak kacau karena ditulis saat vertigo menyerang. Rasanya seperti sedang naik komidi putar (Februari, 2018)
Komentar
Posting Komentar