Proyek penulisan puisi esai nasional Denny J.A. (DJA) jilid II melibatkan berbagai penulis dari 34 provinsi se-Indonesia. Dalam satu buku puisi esai, terdiri atas lima penulis yang mewakili setiap provinsi, yang akan diterbitkan secara serentak di Indonesia. Masing-masing penulis mendapatkan kontribusi sebesar Rp5 juta. Namun akhir-akhir ini, proyek penulisan tersebut menimbulkan polemik baru dalam sastra Indonesia. Tiba-tiba saja muncul berbagai penolakan puisi esai dari banyak komunitas. Di antara pro dan kontra puisi esai, sebagian penulis puisi esai adalah penyair perempuan. Di lain pihak, ada juga beberapa penyair perempuan yang mengundurkan diri.
Mengapa puisi esai menimbulkan berbagai polemik? Bagaimana isu perempuan dalam puisi esai? Simak hasil wawancara puan.co bersama Dellorie Ahada Nakatama, Fatin Hamama R. Syam, Rukmi Wisnu Wardani, dan Waode Nur Iman berikut ini!
Dellorie, Penyair yang Mengundurkan Diri dari Puisi Esai
Setelah viral nama beberapa penyair perempuan yang mengundurkan diri dari proyek puisi esai, tim redaksi puan.co mencoba menghubungi Ayu Harahap (sumut) dan Dellorie Ahada Nakatama (Sumbar). Melalui pesan facebook-nya pada Kamis (18/01), Ayu Harahap menuliskan, “ Maaf Mbak. Ayu sedang tak mau terlibat lagi untuk urusan apa pun mengenai ini. Terima kasih.”
Penelusuran pun dilanjutkan kepada penyair perempuan asal Aceh yang namanya tercatat sebagai penulis puisi esai – D. Kemalawati. Melalui pesan Whatsapp (WA), D. Kemalawati membalas, “Tidak usah dulu ya! Saya sedang konsentrasi dengan pekerjaan.”
Lalu, dilanjutkan ke Dellorie Ahada Nakatama. Perempuan asal Sumbar yang sehari-hari bekerja sebagai staff di sekretariat DPRD Kabupaten Lima puluh Kota ini mengakui bahwa pengunduran dirinya bukan atas intervensi berbagai pihak, namun lahir dari kesadaran dirinya.
Awalnya, Dellorie tak pernah tahu apa itu puisi esai. Saat di perjalanan menuju acara HPI di Bukittinggi, ia menerima sebuah tawaran dari koordinator puisi esai Sumbar – Muhammad Ibrahim Ilyas – melalui telepon genggamnya. Dellorie mengiyakan tawaran tersebut dengan penuh keraguan. Dikirimlah beberapa contoh puisi esai melalui WA untuk dipelajari selama satu minggu.
“Esok paginya, saya juga belum memberi kabar karena belum ngeh sampai akhirnya saya ditelpon lagi. Saat penelponan kedua, saya menolak ikut karena waktunya mepet. Selain itu, saya juga sibuk kerja. Setelah melihat nama-nama besar di proyek penulisan itu, saya berpikir dalam hati bahwa saya takut nantinya, jika karya saya tidak sesuai, saya akan membikin malu koordinator provinsi. Namun, Om Bram bilang saya bisa dan pasti bisa. Karena saya sudah menganggap Om Bram seperti orang tua sendiri, akhirnya saya iyakan tanpa tahu lebih dalam apa itu puisi esai DJA,” kata Dellorie pada Kamis (18/01).
Di tengah kesibukannya, Dellorie menyempatkan diri menulis puisi esai. Ia menulis tentang ibu tua – yang terpaksa mengemis demi bertahan hidup – pada dasarnya, hal ini sangat bertentangan dengan kodrat perempuan minang, yang sering digaungkan bahwa perempuan minang memiliki kuasa tertinggi di dalam rumah gadang, termasuk pembagian harta di kaumnya.
Setelah deadline tiba, Dellorie mengirimkan sinopsis puisi esai ke panitia. Beberapa hari kemudian, ia menerima buku puisi esai DJA, uang pangkal sebesar Rp1 juta, serta surat perjanjian kontrak penulisan puisi esai. Dellorie baru mengetahui bahwa ia akan dibayar Rp5 juta.
Dari awal mendapat tawaran menulis puisi esai, Dellorie memang belum tahu latar belakang DJA meski sering melihat namanya muncul di beranda facebook.
“Karena sejatinya dari awal, saya sudah tak menyukai puisi esai yang baru saya kenal. Walaupun jujur, bagi saya menulis puisi esai itu gampang. Tinggal mencari bahan yang mau ditulis, membuat bahasa seindah mungkin, kemudian dibuat dalam versi panjang sepanjang-panjangnya dengan mencari kata yang perlu dibubuhi catatan kaki. Bisa dibilang, pengunduran diri ini murni atas keinginan pribadi, terlepas saya pasti menjaga nama-nama yang saya kenal baik di dunia kesusastraan,” ucapnya.
Dellorie menambahkan bahwa ia sama sekali tidak menyesal atas pengunduran dirinya, dalam artian ia sekaligus akan kehilangan uang Rp5 juta. “Buat apa uang Rp5 juta, tetapi batin menolak dan menanggung malu sepanjang hidup karena pernah terlibat politik sastra,” tambahnya.
Penolakan batin Dellorie muncul sejak ia membaca status facebook Malkan Junaidi. Dalam statusnya, Malkan menuliskan bahwa ia akan menendang teman-teman yang ketahuan mengikuti proyek DJA. Puncaknya, setelah ia gabung di grup WA Kedai Penyair Muda Indonesia. Dari sana, ia mempelajari dan menimbang-nimbang dengan sangat lama, hingga akhirnya menyimpulkan bahwa ia harus bercerita kepada seniornya, yakni Iyut Fitra atau yang akrab disapa Kuyut.
“Di malam sebelum saya menemui Kuyut, ternyata ia telah menelusuri nama-nama penulis puisi esai asal Sumbar. Kuyut sangat kaget ada nama saya karena saya adalah salah satu anggotanya di Komunitas Tanah Rawa. Lalu Kuyut menelpon Heru Joni Putra (HJP). Otomatis, awalnya mereka kecewa karena mereka tahu bahwa saya memang tidak tahu banyak tentang polemik sastra Indonesia masa kini. Di malam saya bertemu Kuyut dan HJP, saya diberi pengarahan hingga pukul 03.00 dini hari. Saya menyesal tidak bertanya kepada Kuyut sebelum akhirnya saya menyetujui tawaran menulis puisi esai. Selain Kuyut dan HJP, Esha Tegar, dan teman penyair lainnya juga membantu mengarahkan saya,” ungkapnya.
Lalu Dellorie membuat surat pengunduran dirinya di atas meterai. Surat itu kemudian ia kirimkan ke Fatin Hamama – koordinator puisi esai Indonesia bagian barat – melalui WA. Kuyut dan beberapa teman-teman Sumbar akhirnya yakin bahwa Dellorie benar-benar telah membatalkan kontrak. Sebab ia tak menerima sisa Rp4 juta yang dijanjikan. Sementara dalam perjanjian, setelah puisi esai selesai dikirim ke panitia, sang penulis akan menerima uang pelunasan yang dijanjikan. Dellorie kemudian hendak mengembalikan uang pangkal Rp1 juta yang telah ia terima.
“Pengembalian uang ini awalnya dipersulit. Dari Om Bram dilempar ke Fatin, dari Fatin dilempar ke Om Bram, Om Bram kemudian melempar ke Fatin lagi. Akhirnya, Kuyut menelpon Om Bram. Dari situlah, Om Bram mau menerima pengembalian uang pangkal dan disetujui Fatin Hamama,” kata Dellorie.
Dellorie menambahkan jika memang puisinya kelak tetap dimuat di buku puisi esai Sumbar, dirinya pasti akan menuntut. “Sebab saya sudah bikin pernyataan pengunduran diri sebelum dikirim uang pelunasan sebesar Rp4 juta dan saya jug telah mengembalikan yang Rp1 juta,” kata Dellorie.
Menurut Dellorie, idealnya kerja di dalam sastra sebagai profesi adalah yang memang berjuang di dalamnya. Yang setiap karya butuh proses dan diseleksi lalu dinyatakan menang sehingga mendapatkan fee. Misalnya saja saat mengirimkan tulisan di media, di sana ada sistem seleksi.
“Kalau proyek DJA ini memang orang-orang pilihan dan lurus-lurus saja, saya yakin, saya bukanlah orang yang tepat untuk dipilih. Sebab Payakumbuh adalah gudangnya para penyair. Tentu mereka banyak pilihan untuk menghubungi yang lebih senior dan lebih punya nama. Dari sini, saya menyadari bahwa ada sesuatu yang ganjil,” ungkap Dellorie. Kini, nama Dellorie Ahada Nakatama tercatat sebagai salah satu publik sastra yang menandatangani petisi penolakan puisi esai yang digagas oleh penyair muda Indonesia.
Isu Perempuan dalam Puisi Esai
Puisi esai di mata Fatin Hamama R. Syam (FH) sama pentingnya dengan puisi-puisi konvensional di Indonesia. Bedanya, puisi esai lebih mengangkat isu-isu sosial yang selama ini belum banyak diangkat ke dalam puisi, juga ada unsur ilmiah dan riset. Sebab masalah-masalah sosial di Indonesia saat ini sangat kaya dan beragam.
Bila biasanya banyak yang bosan membaca data saja, kini data itu diolah ke dalam puisi agar bisa lebih menarik di mata pembaca. Puisi esai menurut FH adalah perpaduan antara fakta dan fiksi
.
“Semuanya tergantung niat dan sudut pandang. Bila kita menyikapinya dengan positif untuk membangun kebudayaan, memberikan kontribusi, dan mencari kemaslahatan untuk Indonesia, semuanya akan menjadi baik,” ungkapnya via telepon pada Jumat (19/01).
Dari 34 provinsi se-Indonesia, penulis puisi esai sebagiannya adalah perempuan. Perbandingannya dengan penulis laki-laki sekitar 1:3. Dari Jakarta ada 2 penyair perempuan, selebihnya 1 penyair perempuan, sebut saja dari Aceh, Medan, Riau, dan Sumbar. Namun, FH tidak melihat latar belakang penulisnya sebab nama besar seorang penulis belum tentu menjamin kualitas karya.
“Semua penulis di mata saya adalah sama, baik itu penulis baru maupun lama. Semuanya punya tempat. Kita tak bisa memilah-milah berdasarkan nama. Banyak yang sudah punya nama, bisa jadi dalam satu karya ia lemah. Banyak yang belum punya nama besar, bisa saja ia lebih bernas. Pada akhirnya, yang menilai adalah masyarakat” ungkapnya.
Sejauh ini, isu-isu perempuan dalam puisi esai menjadi bagian yang penting. Dalam proyek penulisan puisi esai nasional jilid II ini, ada isu tentang perempuan yang sangat menarik. Dari Bengkulu, misalnya. Ada yang mengangkat masalah Yuyun, anak yang diperkosa kemudian dilempar ke jurang. Selain itu, ada juga kisah cinta Fatmawati dan Soekarno.
Dalam buku puisi esai berjudul Atas Nama Cinta yang ditulis DJA, beberapanya mengangkat isu-isu perempuan, misalnya kisah tentang Fang Yin – si gadis Tionghoa yang diperkosa saat tragedi Mei 1998, kisah cinta beda keyakinan, kisah TKW yang membunuh majikan karena dilecehkan, dan lain sebagainya. Puisi esai memang lebih banyak mengangkat tema-tema sosial, seperti diskriminasi, perebutan tanah, perebutan hak waris, kriminal, dan masih banyak lagi.
Dengan adanya berbagai isu sosial ini, terutama mengangkat permasalahan perempuan, FH mengatakan ini sebagai upaya menyuarakan ketidakadilan atas nama perempuan.
“Kalau kita berpikir lebih objektif dan ada suatu kesadaran, saya merasakan ada ketimpangan. Terlalu banyak mereka yang menghujat tanpa melakukan sesuatu. Kebanyakan melihat celah buruknya saja. Saya ingin orang melihatnya dengan jernih. Jika puisi esai menjadi perbincangan, mengapa mereka tidak membuat sesuatu yang juga baru? Supaya kebaruan itu juga akan menghiasi taman bunga sastra dengan keberagaman yang lain. Sastra Indonesia bisa menjadi lebih kaya,” tuturnya.
FH – penulis buku puisi berjudul Papyrus (Love, 2006) sekaligus koordinator penulisan puisi esai di Indonesia bagian barat – mengatakan bahwa dirinya juga pernah menulis puisi esai berjudul “Jelaga Kembang Raya”. Puisi ini menceritakan tentang seorang perempuan yang lama hidup di jalanan semenjak ayahnya kawin lagi. Hidupnya sangat melarat sehingga membuatnya harus mencuri demi bertahan hidup. Sejak SD, ia telah dijuluki sebagai pencuri. Ketika SMP, ia rela menjual tubuhnya demi mendapat apa saja yang bisa dimakan. Kemudian ia berpetualang mencari cintanya di jalanan. Di sepanjang hidupnya, ia menaruh dendam yang besar terhadap ayahnya.
Pertama kali puisi esai hadir di Indonesia sekitar tahun 2013. Keberhasilan puisi esai khususnya dalam mewacanakan persoalan sosial di Indonesia, menurut FH dirinya belum bisa menyampaikan keberhasilan itu. Sebab ini masih proses menanam bibit. Di Indonesia sendiri, puisi esai baru tumbuh dan berkembang. Namun, FH melihat proses ini sebagai suatu usaha positif dalam mengembangkan kebudayaan.
Banyak yang beranggapan bahwa puisi esai tidak sesuai dengan pakem yang ada. FH mengatakan bahwa dalam berkarya, setiap orang dilindungi undang-undang untuk berkarya selagi tidak melanggar hukum.
”Bila memang puisi esai tidak sesuai dengan pakem yang ada, lalu bagian mana dari puisi esai yang menyalahi undang-undang? Apa orang tidak boleh berkreasi?” tambahnya.
Mengenai mereka yang mengundurkan diri dari penulisan puisi esai, Fatin menuturkan bahwa dirinya tidak menerima transfer pengembalian itu. Semua masalah keuangan ditangani oleh bendahara. Oleh bendahara, uang itu dikembalikan lagi ke yang bersangkutan sebab uang tersebut sudah menjadi hak penulis. Penulis yang menyatakan mundur dari puisi esai, puisinya akan tetap dimuat karena sesuai dengan perjanjian awal kontrak di atas meterai. Menurutnya, kesepakatan yang telah dibuat tetaplah harus dihormati.
Ketika puan.co menanyakan kepada FH terkait mereka yang mengundurkan diri, FH menuturkan bahwa ia tidak mau menyinggung masalah tersebut karena bisa memperkeruh suasana.
“Apa pun yang saya tuturkan nantinya, di mata orang yang tidak suka, yang saya ucapkan pastilah salah. Mereka yang suka puisi esai saya hormati, mereka yang tidak suka puisi esai juga saya hormati. Saya hanya kurang bisa menerima bila ada yang berkomentar kasar dan menyakiti. Buat dan ciptakanlah sesuatu yang baru! Jangan orang yang berkaryanya yang ditolak! Semua harus berangkat dari sisi positif, maka semua yang terlihat adalah hal baik.”
Lalu, di mana peran perempuan bila ada orang-orang berkomentar kasar?
“Kembalilah ke rumah! Ajari anak-anak untuk tidak berkata kasar! Ajari anak-anak menggunakan bahasa yang santun! Kalau seorang ibu terbiasa berbicara kasar dengan anak-anaknya, itulah yang akan kita tuai. Saya ibu beranak dua dan nenek dari seorang cucu. Pesan saya kepada para perempuan ‘Jangan pernah memaki anak! Gunakanlah bahasa yg baik!’ Jangan bilang bandel atau nakal, tapi carilah kata yang lebih baik! Sebab lidah seorang ibu itu keramat. Besarkanlah anak dengan kasih sayang! Bahasa adalah salah satu medium yang penting untuk berkomunikasi,” tuturnya.
Menurut FH, perbuatan bully, melecehkan, menista, dan persekusi itu sudah diatur dalam undang-undang. Yang suka melakukan persekusi adalah mereka yang kehilangan bahasa batin. Sementara bahasa batin adalah bahasa ibu yang disampaikan kepada anaknya.
“Ketika ada yang berkomentar kasar ke saya, saya tidak akan membalasnya dengan caci maki sebab saya menghindari perdebatan. Siapa pun yang berkarya, saya akan mendukung. Saya juga akan menghargai setiap karya karena kita berkarya dijamin undang-undang. Sebab kita punya kemerdekaan untuk bekarya.
Fatin hanya berharap bila ada yang melakukan kesalahan, jangan langsung menghakimi. Kita harusnya saling membina, bukan membinasakan. Hingga saat ini, FH sudah bersedia berbicara dengan teman-teman di ruang terbuka.
Berbeda pula dengan Sri Asih, penulis lima belas buku asal Pasuruan Jawa Timur. Dirinya mengaku sempat sangat ingin mengikuti lomba puisi esai yang berhadiah Rp5 juta. Namun sayang, penulis paruh baya ini tidak sempat mengikuti karena waktunya bersamaan dengan ibadah haji.
“Proyeknya tentu tertarik sebab uang hadiahnya bisa digunakan untuk membeli laptop. Bagi saya, penulis memiliki kebebasan untuk berkreasi, berimajinasi, serta menuangkan ide dan suara hati, termasuk DJA dan polemik yang berkembang,” ucapnya pada Jumat (19/1).
Puisi Esai Bukan Genre Baru
Rukmi Wisnu Wardani adalah penyair kelahiran Jakarta, yang telah menulis puisi sejak tahun 2000-an. Di tahun-tahun itu, modem masih bermusuhan dengan CPU. Rukmi pun mesti mencolokkan kabel telepon supaya bisa terhubung ke dunia maya. Plus mesti sabar kalau tiba-tiba koneksinya terputus.
Karena menyukai dunia tulis-menulis, alumnus Universitas Trisakti ini mengikuti beberapa milis di era itu, seperti Puisi Kita, Sastra Sufi, Sastra Malaysia, milis Bunga Matahari, dan beberapa lainnya. Ia dulu paling aktif di milis Penyair, yang kemudian bersama teman-teman membikin Yayasan Multimedia Sastra. Di kemudian hari, nama milis Penyair berganti menjadi Cybersastra.
Sebagai penulis perempuan, sumbangsih Rukmi terhadap sastra Indonesia yang paling terpenting adalah sedapat mungkin ikut peduli sekaligus ikut menjaganya. Minimal tidak merusak dan tidak merendahkan ranah keilmuan sastra itu sendiri.
Ketika ditanya polemik sastra Indonesia tentang puisi esai, kata Rukmi pada Sabtu (20/01), “Saya merasa sedih, kesal, marah, dan ikut prihatin. Semestinya, polemik itu tidak berkepanjangan. Namun, ketika ada seseorang dan/atau sekelompok orang yang dengan sengaja melakukan upaya sewenang-wenang: melangkahi ranah bidang keilmuan sastra yang tidak membawa manfaat bagi sastra Indonesia, apalagi sampai diamini oleh beberapa lingkaran, yang semata-mata demi popularitas, kekuasaan, ketenaran, serta terbukti melakukan penyesatan dan pembodohan terhadap publik, sekaligus terbukti memanipulasi sejarah dunia sastra Indonesia, tentu harus diingatkan dan diedukasi. Lebih memprihatinkan lagi, justru adanya sederet nama sastrawan yang dianggap senior malah berpendapat bahwa kedudukan puisi esai di Indonesia menawarkan sebuah kemungkinan yang baru."
Rukmi menambahkan “Menurut saya puisi esai itu seperti cerita biasa saja. Padahal, jika dicermati kembali apa itu puisi esai lewat tulisan Saut Situmorang yang berjudul “Adakah Puisi dan Esai dalam Puisi Esai DJA?” jelas kok di sana dijabarkan. Singkatnya, puisi esai merupakan gabungan dua genre sastra, yaitu puisi dan esai. Dengan catatan, bentuknya puisi, tetapi isinya esai. Esai sendiri harus analitis, interpretatif, dan kritis tentang suatu topik. Baca juga status facebook Ahmad Yulden Erwin di media sosial yang menyentil perkataan DJA, termasuk para pengikutnya, yakni dikatakan bahwa inti puisi esai karena adanya catatan kaki! Padahal, catatan kaki adalah adalah daftar keterangan khusus yang ditulis di bagian bawah setiap lembaran atau akhir bab karangan ilmiah. Catatan kaki biasa digunakan untuk memberikan keterangan dan komentar, menjelaskan sumber kutipan, atau sebagai pedoman penyusunan daftar bacaan (bibliografi).”
Melihat ramainya publik sastra yang menandatangani petisi, sampai muncul pula beberapa gerakan penolakan puisi esai, Rukmi menganalogikan kisah ini dengan seorang dokter. Lalu, tiba-tiba muncul orang yang tidak pernah menimba bidang kedokteran apalagi formal, lantas mengaku sebagai dokter. Namun oleh sebagian kelompok kecil, ia dibenarkan sebagai seorang dokter. Inilah yang sekarang terjadi di sastra Indonesia. Ini yang menimbulkan gerakan penolakan puisi esai.
“Menurut saya, perihal puisi esai itu sudah bukan dalam kategori mengotori, tetapi sudah masuk ke dalam bentuk upaya pembodohan karena berisi kebohongan kepada publik, termasuk memanipulasi sejarah sekaligus merusak bidang keilmuan sastra itu sendiri. Mirisnya, hal itu dikunyah oleh para penulis muda di berbagai daerah. Oleh sebab itu, hal-hal yang dapat mencederai mereka di kemudian hari harus dikabarkan secara meluas dan dihentikan!” ungkap penyair perempuan yang puisi-puisinya telah dimuat di berbagai antologi ini.
Rukmi menambahkan bahwa puisi esai bukanlah genre baru. Hal ini sudah diulas oleh para sastrawan yang memang mumpuni dan sudah meneliti dengan saksama berdasarkan keilmuan yang ada. Bukan sekadar asal-asalan. Ada hal yang sebenarnya membikin lucu dalam upaya pembodohan itu. Coba perhatikan! Segala bentuk yang ada sangkut pautnya dengan puisi esai tak pernah lepas dari unsur uang yang selalu menjadi bayang-bayangnya. Ahda Imran adalah satu di antara sekian banyak penyair yang meneriakkan hal itu. Dengan kondisi ini, jelas kelihatan perbedaannya, seseorang yang memang memiliki nama besar karena kualitas karyanya dan orang yang menginginkan namanya besar dengan memakai pengaruh uangnya.
“Melalui facebook, beragam tulisan maupun status tak henti bermunculan seputar kabar tentang banyaknya para penulis (terutama penulis muda), yang diminta menulis puisi esai berdasarkan pesanan dengan jumlah honor yang menggiurkan. Bagi yang mungkin minim informasi tentang gagalnya genre itu, ‘kan kasihan. Di satu sisi, ia tidak tahu bahwa dirinya sedang dibohongi, sementara di sisi lain ada besaran nilai uang yang menunggu untuk dimiliki jika mau ikutan proyek puisi esai,” ungkap penyair perempuan yang kontra terhadap puisi esai.
Rukmi mengaku pernah punya pengalaman terkait puisi esai sekitar tahun 2013. Waktu itu, beberapa penulis termasuk Rukmi sempat dihubungi oleh Fatin Hamama R. Syam (FH). Dia meminta kesediaan Rukmi dan beberapa teman untuk menulis puisi esai. Honornya Rp3 juta. Rukmi ingat ketika itu bertepatan dengan keberadaan ibunya yang sedang dirawat di rumah sakit.
“Di antara perhatian yang saya dan keluarga curahkan kepada ibu, dengan adanya tambahan dari honor itu (jika saya menulis pesanan puisi esai itu), saya bisa ikut membantu keperluan ibu, juga kebutuhan rumah tangga kami, maka saya mencoba untuk menulis. Namun permintaan itu tak pernah bisa terealisasi, sebab selain menurutku puisi esai DJA itu ganjil karena harus ada catatan kaki, saat itu saya memang sudah berusaha menulis, tetapi gagal untuk dituliskan. Saya sempat mebolak-balikkan halaman buku puisi esai Atas Nama Cinta-nya DJA, tetapi tetap saja saya tidak bisa menuliskannya. Selang beberapa waktu kemudian, ibu meninggal dunia,” tutur Rukmi.
Ketika waktu deadline sudah semakin mepet, Rukmi masih mencoba menulis puisi esai di masa berkabung yang masih sangat kental itu. Anehnya, komputernya mendadak rusak. Tiba-tiba tidak mau menyala. Sempat pula Rukmi meminjam komputer adiknya. Hasilnya sama: komputernya tiba-tiba rusak juga. Menyala sebentar, kemudian mati lagi. Terus begitu berulang-ulang. Sampai akhirnya tidak bisa menyala sama sekali.
Yang lebih unik lagi dalam masa berkabung itu, Rukmi secara tidak sengaja sempat berbincang dengan seseorang tentang dua komputernya yang mendadak rusak. Seseorang itu berujar bahwa Rukmi sedang tidak diizinkan menulis, kecuali memperbanyak ibadah serta mendoakan kedua orang tua, terutama ibunya yang baru saja meninggal. Mendengar nasihat itu, Rukmi kaget luar biasa.
“Singkat cerita, saya batal menulis puisi esai dan mengabarkannya kepada FH karena faktanya memang tak satu kata pun tertulis. Tak lama setelah itu, saya kaget saat mendengar gonjang-ganjing seputar polemik buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh plus buku 23 penyair yang diminta menulis puisi esai itu. Sungguh, saya sedih mengingat hal itu, terlebih saat membaca nama seorang kawan sejak zaman Cybersastra, yaitu Sihar Ramses Simatupang (SRS). Ia berjuang menarik tulisannya di dalam buku 23 penulis puisi esai pesanan itu. Hingga saat itu, saya terus mengikuti kabar susah payahnya ia mengumpulkan uang untuk sesegera mungkin mengembalikan Rp3 juta yang sudah diterimanya dan sudah terpakai untuk kebutuhan hidupnya sekeluarga,” ucap Rukmi.
Masih lekat dalam ingatan Rukmi saat SRS menawarkan bonsai kesayangannya, juga beberapa koleksi batu akiknya yang dijual lewat media sosial. Sedih itu bertambah ketika Rukmi ingat, masa-masa awal FH meminta kesediaannya menulis puisi esai. FH kemudian meminta nomor telepon genggam SRS kepadanya. Rukmi pun langsung memberikan tanpa menanyakan terlebih dulu kepada SRS. Rukmi menyesal sekali. Andai saja waktu itu ia tidak memberi nomor telepon SRS, SRS pasti tak akan sampai mengalami kesulitan seperti itu. Hal selanjutnya yang Rukmi lakukan, yaitu menghubungi SRS dan meminta maaf atas keteledorannya.
“Kalau tak salah ingat, hampir bersamaan beberapa penulis melakukan protes karena merasa diakal-akali FH demi tujuan terselubung, yang semata-mata dilakukan untuk mendongkrak nama DJA. Satu-persatu mengembalikan honor sekaligus menuntut karya mereka dicabut dari buku 23 itu. Lalu mencuatlah polemik buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh itu. Nama DJA sebagai salah satu tokoh yang muncul di dalamnya. Di sanalah makin nampak jelas bencana tengah menimpa dunia keilmuan sastra Indonesia. Iwan Soekri juga Saut Situmorang justru dituduh melakukan pencemaran nama baik terhadap FH dan dijerat UU ITE. Malah di kemudian hari, Saut Situmorang dikriminalisasi dan dipidanakan,” kata Rukmi.
Dalam perkembangan kabar yang Rukmi ikuti, Iwan Soekri menempuh jalan damai. Sementara Saut Situmorang tetap bersuara keras menentang dan tak henti mempertanyakan keganjilan yang telah dilakukan oleh tim 8 (para penyusun buku 33 tersebut). Upaya untuk mengadakan debat terbuka pun telah ditawarkan. Namun DJAdan tim penyusun buku iu tidak menghiraukannya.
“Saya juga masih ingat. Di suatu pagi, saat tak sengaja membaca status facebook Saut Situmorang, Ia memberitakan bahwa rumahnya kedatangan polisi. Ia dijemput paksa dari Yogyakarta untuk dibawa ke Jakarta atas kasus yang pencemaran nama baik yang menimpanya. Di sanalah gelombang penolakan terhadap DJA dan lingkarannya semakin besar,” kata Rukmi.
Rukmi melanjutkan bahwa puisi esai mirip dengan puisi naratif. Sekalipun tidak bisa disejajarkan dengan puisi naratifnya W.S. Rendra, terbitan Balai Pustaka dengan judul Blues Untuk Bonnie. Bedanya jelas, seperti bumi dan langit.
Ketika puan.co menanyakan apakah puisi esai dianggap sebagai genre yang menyimpang sehingga banyak sekali gerakan penolakan terhadapnya? Rukmi mengatakan bahwa ini bukan porsinya untuk menjawab, mengingat kapasitas pendidikannya bukanlah sastra, melainkan Arsitektur. Rukmi hanya bisa bilang bahwa berawal dari upaya para tim penyusun buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh mengangkat nama DJA, yang disinyalir tak lepas dari faktor uang itu adalah hal yang mengada-ada sekaligus sangat memalukan.
“Lah, wong sudah ada penjelasan dari para sastrawan kok, yang menulis model seperti itu sudah pernah ditulis oleh Alexander Pope, penulis asal Inggris pada abad ke-18. Bukan hanya satu sastrawan loh yang mengatakan hal itu. Kita mesti banyak belajar dari tulisan para sastrawan karena mereka adalah orang-orang yang menjunjung tinggi integritas. Sangat kecil kemungkinan, mereka melakukan akal-akalan dalam menulis esai, kritik, dll. Nama baik mereka dipertaruhkan di sana,” ungkap Rukmi.
Sejak Rukmi mengikuti berita hangat seputar polemik sastra Indonesia yang terjadi (lagi) belakangan ini, ia sadar bahwa menulis itu tidak mudah. Ada pakemnya, ada aturan-aturannya, dan hukum-hukumnya. Buktinya simpel. Adanya fakultas sastra yang berdiri dan tersebar di seluruh dunia menunjukkan bahwa sastra itu salah satu bidang keilmuan. Bukan ranah tempat orang asyik mengkhayal belaka, menuliskan hasil khayalannya, lalu serta-merta mengecap dirinya sebagai penyair, sastrawan, ataupun tokoh sastra paling berpengaruh. Terlebih lagi kalau ada unsur uang yang bermain di balik itu semua.
Jejak Sunyi Waode Nur Iman di Masjid Muna
Nama Waode Nur Iman tercatat sebagai salah satu penyair perempuan, yang turut menulis puisi esai asal Sulawesi Tenggara. Perempuan yang lahir di Oelongko, 22 Agustus 1984 ini, sehari-harinya beraktivitas sebagai penyira berita di TVRI Sultra. Sajak-sajak yang ia tulis pernah dipublikasikan di berbagai koran lokal.
“Puisi esai menurut saya sesuatu yang menarik. Penulis lebih leluasa dalam mengekspresikan pikirannya. Dalam puisi pada umumnya, penulis terbatas dalam menjelaskan detail maksud yang ingin disampaikan. Penulis dimanjakan catatan kaki. Ini menarik sekali,” ungkap perempuan alumnus Sastra Indonesia FIB Universitas Halu Oleo.
Waode mengatakan bahwa dirinya menulis puisi esai berjudul “Jejak Sunyi Masjid Muna”. Masjid ini berada di Pulau Muna, Sultra, sebagai penanda sejarah awal mula masuknya Islam di Muna, yakni sekitar tahun 1600-an. Pada saat itu, Islam belumlah menjadi agama resmi. Pada tahun 1716, Islam baru menjadi agama resmi kerajaan. Saat ini, Masjid Muna tidak difungsikan secara maksimal oleh masyarakat Muna sendiri.
Meski banyak yang kontra terhadap puisi esai, kata Waode melalui pesan WA pada Senin (22/01), “Yang membuat kita kaya adalah perbedaan. Secara pribadi, saya tidak mau ambil pusing. Bagaimanapun bentuknya, berkarya itu hak setiap orang selama penulis tidak mengganggu kebahagiaan dan kenyamanan orang lain, selanjutnya tugas pembaca adalah menilai kualitasnya. Saran saya kepada yang kontra: tolong baca dulu karyanya! Nanti setelah itu baru menghujat kalaupun memang harus menghujat. Saya khawatir, jangan-jangan belum tahu isi puisi esai yang dimaksud. Mohon bijaklah!”
Wa Ode Nur Iman mengenal puisi esai dari terbitnya buku 33 Tokoh sastra Indonesia Paling Berpengaruh yang disertai polemik.
“Wajar saja. Secara, tokoh DJA baru dalam dunia sastra Indonesia. Namun saya pikir, ini bukan alasan untuk tidak belajar membaca kemudian menerima esensi puisi esai. Saya ragu terhadap teman-teman yang kontra. Jangan-jangan mereka sebenarnya bukan membenci puisi esainya, tetapi membenci DJA. Mereka cemburu karena DJA mampu menggandeng penulis-penulis dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Sementara kelompok yang kontra, hanya mampu melakukan gerakan serupa kecuali ada sponsor dari pihak-pihak terkait. Seandainya puisi esai lahir dari tokoh yang lain, kira-kira bagaimana yah respons penerimaan mereka? Awalnya, saya menemukan salah satu edisi jurnal sajak yang memuat puisi DJA. Kemudian mendapat tawaran menulis puisi esai,” ungkap ketua Rumah Andakara di bidang kajian seni, sastra, dan budaya ini.
Sementara tanggapan Waode Nur Iman terkait beberapa teman yang mengundurkan diri dari proyek penulisan puisi esai, yakni “Mengapa mundur? Kamu menyesal menulis puisi esai? Memangnya apa yang kamu tulis? Hujatan terhadap orang lain (kalau benar, wajar kamu mundur)? Atau jangan-jangan karena di-bully atau merasa diasingkan oleh kelompok lain? Kelompok yang mana? Mengapa tidak menulis saja secara merdeka? Bukankah semua yang lahir adalah pemenang? Maka tidak ada alasan untuk tidak merdeka.”
Salah satu alasan Waode Nur Iman menulis puisi esai, yakni menuangkan gagasan dalam puisi secara bebas dan ilmiah melalui riset. Sementara komentar Waode terhadap teman-teman yang pro puisi esai, yakni “Kita tidak sedang membangun kelompok-kelompok. Kita sedang melakukan gerakan menulis, yang jenis tulisannya sama. Maka mari kuatkan isi tulisan kita tanpa memusuhi mereka yang kontra!”
NB: tulisan ini pernah dimuat di Majalah Puan tertanggal 24 Januari 2018
Komentar
Posting Komentar